Tren “No Buy Challenge”, Langkah Bijak Mengurangi Belanja di Tengah Ketidakpastian Ekonomi 2025

Tren “No Buy Challenge”, Langkah Bijak Mengurangi Belanja di Tengah Ketidakpastian Ekonomi 2025

Ilustrasi Tren No Buy Challenge--Freepik.com

Ia merupakan bos SARE Studio—brand fesyen lokal berkelanjutan, membagikan daftar sembilan jenis barang yang akan ia kurangi pembeliannya. Termasuk suvenir, air minum kemasan, hingga produk perawatan kulit.

“Semakin banyak kita punya barang, enggak membuat kita makin bahagia. Jadi kita makin terperangkap akan banyaknya barang,” ungkapnya.

Cempaka, yang dulu seorang shopaholic, kini memprioritaskan kebijaksanaan dalam konsumsi sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan gaya hidup yang lebih sehat.

Tak hanya Cempaka, komunitas seperti Lyfe With Less yang didirikan oleh Cynthia Suci Lestari juga turut memperkuat gerakan ini. 

Dengan lebih dari 7.000 anggota di Telegram, komunitas ini mendorong masyarakat untuk hidup dengan lebih sedikit barang, menormalisasi penggunaan barang bekas, dan berfokus pada hal-hal yang benar-benar penting. 

"No buy challenge itu sangat solutif untuk orang-orang biar nggak konsumsi barang yang mungkin sudah dia punya di rumahnya… bisa mendorong orang-orang memaksimalkan apa yang sudah dimilikinya," ujar Cynthia.

Tren atau Perubahan Permanen?

Meski kampanye ini viral, tak sedikit yang skeptis tentang keberlanjutannya. Sosiolog Robertus Robet dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menilai gerakan ini lebih sebagai respons sementara kelas menengah terhadap tekanan finansial, tanpa bukti signifikan dampaknya terhadap ekonomi kapitalis. 

Namun, ia juga melihat sisi positifnya sebagai kritik moderat terhadap konsumerisme dan langkah awal menuju gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Sebaliknya, pendukung kampanye ini merasa optimis. Bagi banyak peserta, tantangan ini bukan hanya soal hemat uang, tetapi juga langkah introspektif untuk melepaskan diri dari kecanduan konsumsi. 

Seperti yang dialami oleh Cynthia, perjalanan dari seorang shopaholic menjadi minimalis mengubah cara pandangnya terhadap hidup dan kebahagiaan. Kini, ia hidup dengan prinsip “beli karena perlu, bukan karena ingin.”

Filosofi di Balik Gerakan

Akar dari gerakan minimalisme modern dapat ditelusuri hingga filosofi "Less is More" oleh arsitek asal Jerman, Ludwig Mies van der Rohe pada 1960-an. 

Ia merangkum inti dari minimalisme dalam desain dan arsitektur dengan menekankan prinsip filosofis bahwa kesederhanaan dan pengendalian diri sering kali mampu menghasilkan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ornamen atau kerumitan yang berlebihan.

Dalam satu dekade terakhir, konsep ini diperkuat oleh gagasan Marie Kondo—konsultan penata barang melalui metode Con Marie yang mengajarkan pentingnya menyimpan barang-barang yang benar-benar membawa kebahagiaan. 

Gaya hidup minimalis tak hanya mengurangi barang fisik, tetapi juga membantu menyederhanakan pikiran dan meningkatkan kualitas hidup.

Tahun Baru, Pola Pikir Baru

Sebagai langkah awal di tahun baru, “No Buy Challenge” memberikan ruang bagi masyarakat untuk merefleksikan gaya hidup mereka. Dengan latar belakang ketidakpastian ekonomi 2025, kampanye ini bukan hanya tentang penghematan, tetapi juga perlawanan terhadap budaya konsumerisme yang merusak.

Sumber: bbc.com