1 tahun disway

Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Penampilan talenta anak-anak saat pelaksanaan Festival kampung cempluk ke--Istimewa

Jika Kampung Cempluk adalah percikan apinya, maka pandemi COVID-19 adalah angin yang membuatnya berkobar menjadi gerakan yang lebih besar. Saat krisis melanda, Universitas Brawijaya turun tangan menginisiasi gerakan "Kampung Tangguh" di seluruh Malang Raya.

Pengalaman ini menjadi laboratorium nyata yang membuktikan efektivitas mobilisasi modal sosial. Dari sini, sebuah pertanyaan strategis muncul: jika sinergi ini mampu membangun ketangguhan reaktif saat krisis, mengapa tidak membangun sebuah sistem permanen untuk kesejahteraan proaktif?


Mahasiswa asing UB berpartisipasi di Festivala Kampung Budoyo Ketawanggede 2025--Istimewa

Dari sanalah konsep "Social Security Belt" atau Sabuk Pengaman Sosial mengemuka sebagai visi strategis Program KLK. Konsep ini adalah upaya menerjemahkan tesis "stabilitas kampung adalah stabilitas bangsa" ke dalam model aplikatif. Ia menciptakan zona penyangga dinamis di lingkar kampus, di mana kemajuan warga dan keamanan institusi saling memperkuat melalui tiga pilar: stabilitas ekonomi, resiliensi sosial, dan afirmasi identitas kultural.

BACA JUGA:Delegasi 7 Negara Bahas Penanganan Krisis Sumber Daya Air di UB

Titik Temu Sinergis: Kemitraan di 'Dapur Bersama'

Di satu sisi, sebuah institusi besar sedang menyusun strategi di ruang rapatnya untuk menjawab tantangan global bernama SDGs. Di sisi lain, sebuah komunitas di gang-gang sempit sedang merumuskan kebutuhannya di balai RW. Keduanya, tanpa sadar, sedang berjalan menuju titik temu yang sama. Dan titik temu itulah yang menjadi keajaiban Program KLK.

Kemitraan ini bukan lagi program 'top-down' di mana universitas datang sebagai 'ahli'. Ia menjelma menjadi sebuah 'dapur bersama', tempat di mana resep-resep ilmiah dari para profesor berpadu dengan bumbu-bumbu kearifan lokal dari ibu-ibu PKK.

Mereka memasak solusi bersama, sebuah proses yang dalam dunia akademis disebut ko-produksi pengetahuan (Putra & Lee, 2022). Hasilnya, 'hidangan' program yang disajikan tidak hanya bergizi secara keilmuan, tetapi juga pas di lidah dan sesuai dengan selera komunitas, mewujudkan SDG 17: Partnerships for the Goals secara sempurna.

BACA JUGA:10 SPPG di Kota Malang untuk Program MBG Dalam Proses.Sertifikasi, Target Rampung Pekan Depan


Penandatanganan deklarasi bersama UB (diwakili Sekretaris Universitas/pakai batik) dan warga bersama Lurah Ketawanggede. --Istimewa

Aksi di Lapangan: Lumbung Kebudayaan sebagai Jantung Ekosistem

Aksi di lapangan adalah manifestasi dari "Commoning Strategy". Hasil paling signifikan dari strategi ini adalah terbentuknya apa yang disebut Prastyo (2024) sebagai "Lumbung Kebudayaan". Ini adalah wujud nyata dari akumulasi modal sosial; sebuah aset komunal yang terdiri dari kepercayaan, keterampilan, dan jaringan sosial yang kuat.

Festival Budaya tahunan adalah momen panen raya dari lumbung ini. Penelitian Prastyo et al. (2025) memberikan bukti kuantitatif atas keberhasilan ini, menunjukkan bahwa manajemen acara (event management) yang berbasis gotong royong secara langsung mendorong praktik pariwisata berkelanjutan.


Reog UB tampil dalam Festival Kampung Cempluk ke-8--Istimewa

Studi tersebut juga menemukan bahwa pariwisata berkelanjutan ini bertindak sebagai variabel mediasi krusial yang pada akhirnya memperkuat citra positif kampung (destination branding). Ini adalah validasi ilmiah dari apa yang telah dipraktikkan warga.

Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pegiat senior Kampung Cempluk, "Festival ini bukan sekadar acara. Ini adalah hari raya kebudayaan kami, momen di mana kami merasa paling menjadi diri sendiri, paling bangga sebagai orang kampung."

Masa Depan yang Disulam Bersama: Dari Tembok menjadi Beranda

Sumber:

Berita Terkait