Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya
Penampilan talenta anak-anak saat pelaksanaan Festival kampung cempluk ke--Istimewa
DI SATU sisi tembok beton yang menjulang. Terdengar kesunyian perpustakaan dan diskusi-diskusi intelektual di ruang ber-AC Kampus Universitas Brawijaya (UB).
Ia adalah sebuah episentrum kemajuan. Sebuah "kota di dalam kota" yang berdenyut dengan energi dari puluhan ribu mahasiswa dan dinamika keilmuan yang tak pernah henti. Dalam perannya, UB berfungsi sebagai kanal lokomotif dalam menyambut modernitas; sebuah ekosistem mandiri yang memproduksi pengetahuan, inovasi, dan sumber daya manusia unggul.
Namun di sisi lain, hanya beberapa meter darinya, udara dipenuhi riuh tawa anak-anak yang bermain di gang sempit. Juga, aroma masakan dari dapur-dapur terbuka, dan alunan musik yang mengalir dari sebuah warung. Inilah dua dunia yang hidup berdampingan, di mana denyut nadi kampung-kampung kota berdetak.

Penulis: Dr. Redy Eko Prastyo,.S.Psi,.M.I.Kom--Istimewa
Bagi UB, fenomena ini bukan satu-satunya. Kampus UB Dieng juga berimpitan dengan Kampung Cempluk, sbuah komunitas yang secara unik berlokasi di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang,
Kampung ini menyimpan memori kolektif yang kuat; namanya lahir dari masa ketika lampu minyak cempluk menjadi satu-satunya sumber penerangan. Sebuah penanda fisik dari keterisolasian yang kemudian menjelma menjadi stigma sosial.
Di antara dua dunia ini—kampus sebagai simbol kemajuan dan kampung sebagai kantong tradisi—berdiri sebuah tembok. Secara fisik, ia adalah benteng beton masif yang membatasi lahan. Namun, secara metaforis, ia adalah tembok sosial, ekonomi, dan imajinasi yang selama bertahun-tahun memelihara jarak.
Di sinilah letak sebuah paradoks fundamental: sebuah institusi pendidikan yang berada di jantung Kota Malang. "Kota Perjumpaan"—rumah bagi lebih dari 50 perguruan tinggi dan inkubator SDM nasional—namun terasing dari perjumpaan paling esensial dengan tetangganya sendiri.
Dari kesadaran akan paradoks inilah Program Kampung Lingkar Kampus (KLK) lahir. Ia lahir dari keyakinan bahwa "tidak mungkin Indonesia berdiri kokoh, jika kampung-kampung di Indonesia tidak stabil " Ia hadir bukan sebagai proyek pengabdian, melainkan sebagai sebuah gerakan strategis untuk menyulam kembali tenun kehidupan yang robek.
Ia sudah dimulai di Kampung Cempluk, sebagai cikal bakal. Dan, akan terus dikembangkan hingga kampung-kampung di lingkar kampus, makin kokoh. Bukan semata untuk menopang UB, tapi juga Kota Malang, bahkan Indonesia secara keseluruhan.

Ibu-Ibu di Kampung Cempluk juga ikut unjuk aksi dengan paduan suara yang menawan--Istimewa
Akar Gerakan: Dekonstrksi Stigma Melalui Martabat Budaya
Gerakan KLK tidak lahir dari ruang hampa. Akarnya tertanam dalam perjuangan panjang Kampung Cempluk melawan stigma "udik" dan tertinggal, sebuah konstruksi sosial yang dianalisis oleh Berger & Luckmann (1990). Alih-alih pasrah, warga Kampung Cempluk, sebagai agen sosial dalam kerangka Giddens (1984), memilih budaya sebagai senjata mereka. Melalui Festival Kampung Cempluk yang legendaris, mereka mempraktikkan apa yang kini dikenal sebagai "Commoning Strategy".
Seperti dianalisis oleh Redy Eko Prastyo (2024), commoning adalah strategi pengelolaan sumber daya kolektif. Intinya, strategi ini adalah sebuah mesin untuk membangun modal sosial—jaringan, kepercayaan, dan solidaritas yang memungkinkan komunitas bertindak kolektif (Putnam, 2000). Dengan memperkuat modal sosial, dekonstruksi stigma yang sejati dapat terjadi.
BACA JUGA:Gema Seribu Tahun yang Kembali: Perjalanan Sound of Borobudur Menemukan Rumah Akademisnya, di UB
Katalisator Krisis dan Lahirnya Kemitraan Strategis
Sumber:
