1 tahun disway

Gema Seribu Tahun yang Kembali: Perjalanan Sound of Borobudur Menemukan Rumah Akademisnya, di UB

Gema Seribu Tahun yang Kembali: Perjalanan Sound of Borobudur Menemukan Rumah Akademisnya, di UB

Penandatanganan MOU antara Yayasan Padma Sada Svargantara (diwakili Trie Utami) dengan Universitas Brawijaya (diwakili Rektor UB Prof. Widodo)--Istimewa

MALANG. DISWAYMALANG.ID--Awal September ini. Di lantai tujuh sebuah menara modern di jantung Kota Malang, keheningan terasa khusyuk. Di dalam ruang kerja Rektor Universitas Brawijaya (UB), masa lalu dan masa depan bertemu.

Di satu sisi meja, duduk Trie Utami , musisi dan pegiat budaya yang membawa amanah sebuah peradaban kuno. Di seberangnya, Rektor UB Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc., duduk tegap, dikelilingi oleh jajaran pimpinan utamanya.

Tinta yang tergores di atas kertas pada 8 September 2025 itu, lebih dari sekadar formalitas. Ia adalah segel dari sebuah janji, titik kulminasi dari sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari sebuah gagasan kolektif para pembakti kampung nusantara. Sebuah perjalanan untuk menghidupkan kembali suara yang telah membisu lebih dari seribu tahun.

Ini adalah kisah Sound of Borobudur. Sebuah gerakan yang menolak untuk jadi sekadar proyek musik. Sebuah gerakan yang pada akhirnya, menemukan rumah akademisnya untuk menggali kembali DNA peradaban bangsa. UB lah, rumah akademis bagi Sound of Borobudur.

Rumah akademis yang disegel dengan Nota Kesepahaman. Trie Utami mewakili pegiat seni pembawa amanah peradaban kuno. Rektor UB mewakili sisi akademis dan modernitas. Keduanya, menyegel pertemuan dua sisi tersebut, dalam wujud penandatanganan Nota Kesepahaman kerja sama.

Momen penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) itu disaksikan langsung oleh para pilar universitas: Wakil Rektor Bidang Akademik Prof. Dr. Ir. Imam Santoso, M.P., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dr. Setiawan Noerdajasakti, S.H., M.H., Wakil Rektor Bidang Kerjasama Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng.D.Sc., Wakil Rektor Bidang Riset Prof. Dr. Unti Ludigdo, S.E., M.Si., Ak., serta Sekretaris Universitas Dr. Tri Wahyu Nugroho. Kehadiran mereka menegaskan bahwa ini bukan sekadar kerjasama, melainkan sebuah komitmen institusional penuh untuk sebuah misi kebangsaan yang besar.

Warisan Tak Ternilai

Semuanya bermula dari sebuah pertanyaan yang menggema di antara sekumpulan individu yang terpanggil: Bisakah suara-suara yang terpahat di relief Candi Borobudur dibunyikan kembali? Pertanyaan itu menjadi api yang membakar semangat Trie Utami, Dr. Redy Eko Prastyo (seorang akademisi UB yang sejak awal menjadi jembatan), almarhum Kimpling, Bachtiar Djanan, dan Rully F.Baksh. Tanpa dukungan dana pemerintah atau korporasi, mereka merogoh kocek pribadi, didorong oleh keyakinan bahwa di dalam batu-batu candi itu tersimpan warisan yang tak ternilai.

Tangan terampil Ali Gardy berhasil merekonstruksi dawai pertama, sebuah instrumen yang bentuknya setia pada pahatan relief. Lalu, pada Desember 2016, di bawah langit Borobudur dalam perhelatan Borobudur Cultural Feast, keajaiban itu terjadi. Di bawah arahan magis Music Director Dewa Budjana, dawai purba itu menangis, tertawa, dan bercerita untuk pertama kalinya setelah ribuan tahun membisu. Momen itu adalah sebuah kelahiran kembali.

BACA JUGA:Ribuan Warga Kota Malang Lakukan Aksi World Cleanup Day, Sasarannya Bersih-Bersih Sungai Metro

Namun, pentas perdana itu menjadi sebuah epifani. Para penggagas menyadari bahwa yang mereka temukan bukanlah sekadar alat musik, melainkan kunci pembuka sebuah "perpustakaan peradaban" yang maha luas. Gerakan ini pun berevolusi. Dari panggung musik, mereka turun ke ruang-ruang riset yang senyap. Jurnal ilmiah, skripsi, dan diskusi lintas disiplin dengan sejarawan, budayawan, bahkan ahli geologi, digelar untuk membedah setiap jengkal pengetahuan yang tersembunyi.

Hasilnya mencengangkan. Borobudur terungkap sebagai "Google Drive" peradaban Nusantara. Di sana, terukir sistem pengetahuan tentang farmasi, teknologi pangan, arsitektur, pertanian berkelanjutan, hingga mitigasi bencana. Sound of Borobudur pun bertransformasi menjadi sebuah cultural movement. Musik menjadi "lokomotif" yang universal, sementara relnya adalah dunia pendidikan dan riset, yang membawa gerbong besar berisi nilai-nilai kebangsaan.

Perjalanan itu membawa mereka ke berbagai panggung, dari Festival Pamalayu di Dharmasraya hingga kegiatan yang bersifat international temasuk dengan UNESCO. Namun, untuk benar-benar menggali "perpustakaan" ini secara sistematis, mereka membutuhkan mitra akademis yang kokoh. Dan di sinilah takdir mempertemukan mereka dengan Universitas Brawijaya.

Sumber:

Berita Terkait