Sinergi Lintas Sektor untuk Tingkatkan Keamanan Pangan, Pemenuhan Gizi dan Keragaman Menu Program MBG
Ilustrasi anak-anak yang gembira bisa menikmati Program MBG--disway news network
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pada awal tahun 2025 merupakan salah satu agenda besar pemerintah. Program ini menjadi sorotan publik, baik melalui pemberitaan media maupun diskusi masyarakat, dengan pro dan kontra yang mewarnai.
Di satu sisi, ada testimoni positif mengenai menu yang menarik dan disukai siswa. Namun, tidak sedikit pula kritik terkait kualitas menu, kebersihan, keamanan pangan, hingga kompetensi tenaga pelaksana yang terlibat.
Sebagai akademisi sekaligus praktisi di bidang gizi kesehatan, saya melihat ada sejumlah aspek fundamental yang harus dikawal bersama agar MBG benar-benar membawa manfaat optimal bagi kesehatan dan kecerdasan anak bangsa.

Prof. Dian Handayani, SKM., M.Kes., Ph.D--Istimewa
1. Keamanan Pangan: Implementasi HACCP dan Kewajiban SLHS
Kasus keracunan makanan yang terjadi di Sukoharjo dan Nunukan Selatan pada minggu kedua implementasi MBG menjadi alarm serius tentang lemahnya penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). HACCP sangat penting untuk mengidentifikasi titik kritis mulai dari penerimaan bahan baku, penyimpanan pada suhu yang tepat (<5°C untuk bahan segar dan menghindari zona bahaya 5–60°C), proses pengolahan, hingga distribusi makanan. Tanpa standar ini, risiko terjadi foodborne disease atau penyakit akibat pangan, bisa meningkat signifikan.
Lebih jauh, MBG sejatinya adalah kegiatan penyelenggaraan makanan dalam skala besar. Karena itu, setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) seharusnya diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
SLHS adalah dokumen legal yang membuktikan bahwa suatu usaha pengolahan pangan telah memenuhi standar kebersihan dan kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Contoh pihak yang wajib memiliki SLHS adalah restoran, jasa boga, depot air minum, dan usaha pangan lain dengan tingkat risiko menengah hingga tinggi.
Pengurusan SLHS menjadi ranah Dinas Kesehatan melalui Puskesmas setempat. Suatu lembaga penyelenggara makanan hanya bisa memperoleh SLHS apabila minimal 50 persen tenaga penjamah makanan (pemasak, pengolah, petugas dapur, hingga pengawas) telah memiliki sertifikat penjamah makanan. Proses ini sangat penting karena memastikan tenaga pelaksana memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyelenggaraan makanan yang sehat, bersih, dan aman.
Pertanyaannya, apakah seluruh SPPG di lapangan sudah menjalankan tahapan untuk mendapatkan SLHS ini? Bila belum, siapa yang dapat menjamin bahwa tenaga penjamah benar-benar memahami penyelenggaraan makanan sehat dan higienis? Siapa yang memastikan bahwa air dan bahan makanan yang digunakan laik higiene? Dan pada akhirnya, siapa yang dapat menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi anak-anak kita sudah aman, sehat, serta memenuhi kebutuhan gizinya?
BACA JUGA:Uji Lab Makanan untuk Selidiki Kasus Keracunan MBG Menemukan Pengolahan Makanan Kurang Higienis

Ilustrasi penyiapan makanan untuk Program MBG--disway news network
2. Pemenuhan Energi dan Zat Gizi Usia Sekolah
Salah satu tujuan utama MBG adalah meningkatkan kecukupan gizi anak sekolah. Dalam petunjuk teknis, ditetapkan bahwa satu porsi makan siang harus memenuhi 30–35 persen kebutuhan energi harian dan 33–36,4 persen kebutuhan protein siswa SD–SMA. Peran ahli gizi menjadi krusial dalam memastikan hal ini terpenuhi.
Namun, telaah Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan: hanya 17 persen menu (5 dari 29 menu) yang sesuai target energi. Sementara itu, 48 persen menu kelebihan protein, 34 persen kekurangan protein, dan 45 persen mengandung pangan ultra-proses seperti susu berperisa tinggi gula. Dengan keterbatasan anggaran, bahkan sering diberitakan hanya sekitar Rp7.500–10.000 per porsi, penyediaan makanan sehat seimbang menjadi sangat sulit.
Jika MBG mengandalkan pangan ultra-proses atau minuman berpemanis, energi mungkin terpenuhi, tetapi kualitas gizinya rendah, berisiko menyebabkan obesitas, sindrom metabolik, dan penurunan performa akademik anak. Karena itu, keberadaan ahli gizi dalam jumlah memadai untuk menelaah dan menyesuaikan menu sangat penting. Satu ahli gizi tidak mungkin mengawal ribuan siswa sekaligus dengan tanggung jawab penuh atas menu, pengolahan, keamanan, hingga edukasi.
Ilustrasi salah satu menu makanan Program MBG dengan kandungan dan nilai gizinya--sppg.benerpurworejo
3. Keragaman Pangan dan Pemberdayaan Lokal
Sumber:
