16 November, Momen Angklung Ditetapkan jadi Warisan Dunia, Saatnya Lebih Melirik Pojok Angklung di Blimbing
--
Video amatir dan dokumentasi singkat yang tersebar luas di sosial media menggambarkan momen-momen itu. Bambu berbunyi di sela klakson, penampilan yang spontan tapi penuh penghayatan, serta interaksi singkat antara pemain jalanan dan warga kota. Suara angklung di persimpangan mengaburkan batas hiburan, ritual, dan pekerjaan. Ia sekaligus pelestarian budaya yang harus bertahan dalam ekonomi kota.
Dari sudut kebijakan budaya, pertanyaan mendesak muncul: bagaimana negara dan masyarakat memaknai pengakuan UNESCO dalam praktik sehari-hari?
Pengakuan internasional memberi legitimasi, tapi tanpa kebijakan pendukung, pendanaan komunitas, kurikulum kebudayaan lokal, pelatihan, dan pengaturan ruang publik. Warisan itu rentan layu menjadi tontonan tanpa makna.
Kritik dari praktisi kebudayaan mengatakan bahwa perlindungan budaya tak boleh berhenti pada sertifikat. Harus diikuti upaya penghidupan perajin, perlindungan pembuat alat, hingga ruang pentas yang layak. UNESCO sendiri menegaskan nilai pelibatan komunitas dalam program pelestarian, bukan sekadar klaim nasional di dokumen.
BACA JUGA:Mengenal Fenomena Homesick dan Cara Mengatasinya

pengamen yang menggunakan angklung di jalanan--getty images
Pengakuan Dunia dan Dampaknya ke Pemain Angklung Lokal
Di Malang Raya, solusi pragmatis bisa berwujud lintasaktor. Pemerintah daerah mengintegrasikan program pelatihan angklung ke dalam agenda pariwisata dan pendidikan. Seniman komunitas diberi akses pasar seni lokal (pasar kreatif, festival, wisata budaya), dan masyarakat diajak menghargai kerja seniman jalanan bukan hanya lewat koin di kotak, tetapi lewat dukungan sistematis.
Misalnya pengadaan panggung mini di titik strategis, atau koperasi alat musik bambu yang menyokong perbaikan instrumen. Dengan demikian, suara angklung di lampu merah tak lagi simbol keterpaksaan, melainkan ekspresi hidup yang diberi ruang aman.
BACA JUGA:Deretan Museum di Malang Raya Kian Dilirik Wisatawan: Wisata Edukatif Jadi Tren Keluarga Akhir Pekan
Peringatan Hari Angklung Internasional yang merujuk pada tanggal pengakuan UNESCO, 16 November. Seharusnya menjadi momen introspeksi, bukan hanya merayakan gelombang tarian bambu dan pemecahan rekor. Tetapi menanyakan, apakah pengakuan dunia sudah sampai ke kaki-kaki pemain angklung di lampu merah Blimbing?
Atau masih berhenti pada headline dan foto seremonial? Jawaban atas pertanyaan itu menentukan apakah angklung akan tetap menjadi warisan hidup, bukan hanya simbol yang indah di acara besar, tetapi napas budaya yang terawat di setiap sudut kota.
Sumber: malang city portal
