6 Desember Juga Hari 'Nol' Toleransi Kekerasan terhadap Perempuan, Ada 93 Kasus di Malang Raya
Hari Tanpa Toleransi terhadap Kekerasan pada Perempuan, 6 Desember--getty images
MALANGRAYA, DISWAYMALANG.ID--Tanggal 6 Desember ini, dunia memperingati Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan. Tanggal ini dipilih secara simbolis sejak aksi peringatan atas pembantaian di Université Polytechnique Montréal (Kanada) pada 6 Desember 1989. Ketika 14 mahasiswi perempuan menjadi korban kekerasan feminis-ekstrem yang kemudian memicu kampanye global menentang kekerasan terhadap perempuan.
Dalam konteks global, gerakan internasional mengintegrasikan 6 Desember ke dalam gelombang global 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence (Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender). Peringatan ini dimulai pada 25 November (International Day for the Elimination of Violence against Women) dan berakhir pada 10 Desember (International Human Rights Day).
BACA JUGA: 29 November, Hari Perempuan Pembela HAM: Ancaman Masih Nyata pada 2025, Ini Datanya
Hari ini diinisiasi oleh Center for Women's Global Leadership sejak 1991 untuk menggalang kesadaran dan aksi menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menjadikan rentang ini sebagai momen advokasi, pengumpulan data, dan penagihan kebijakan. Peringatan ini memang bukan sekadar seremonial; ia berakar pada sejarah kolektif yang meminta transformasi norma, hukum, dan layanan perlindungan.
Ratusan Kasus pada 2024 di Indonesia
Di Indonesia, peringatan ini diadaptasi secara lokal. Menurut catatan Komnas Perempuan, 6 Desember diperingati sebagai Hari “Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan” dalam kerangka kampanye 16 HAKtP (Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan).
Secara nasional, gambaran besar yang disajikan Komnas Perempuan menunjukkan tren kenaikan kasus yang mengkhawatirkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 melaporkan ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dengan dinamika dominasi kasus di ranah personal/domestik, sebuah penanda bahwa rumah tidak selalu menjadi ruang aman. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, mereka mengindikasikan beban nyata bagi layanan kesehatan, hukum, dan perlindungan yang masih harus diperkuat oleh negara dan masyarakat sipil.
Kekerasan Perempuan dan Anak di Malang Raya
Di tingkat lokal, Malang Raya memperlihatkan pola yang paralel dan mengkhawatirkan. Laporan data pemerintah daerah menyebut 82 kasus kekerasan seksual tercatat pada periode Januari–Juli 2025 dengan sebaran tertinggi di Kabupaten Malang, disusul Kota Malang, dan Kota Batu. Serta catatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Malang selama semester pertama 2025 menunjukkan angka hampir serupa (sekitar 93 kasus).
Hal ini menandakan peningkatan laporan serta kebutuhan layanan pendampingan yang lebih sistematis. Angka-angka itu menjelaskan bahwa selain kebutuhan hukum dan medis, layanan pendampingan psikososial, akses layanan terpadu, dan kanal pelaporan ramah korban masih sangat dibutuhkan di Malang Raya.
Data lokal juga memperlihatkan pola underreporting: banyak korban masih enggan melapor karena stigma, ketakutan akan proses hukum, atau minimnya informasi tentang hak dan layanan yang tersedia. Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan kapasitas layanan, dari pusat layanan terpadu hingga konselor PPA. Akibatnya, angka resmi sangat mungkin hanya puncak gunung es dari problem yang jauh lebih besar.
BACA JUGA:Hari Anak Perempuan Internasional 14 November, Nikah Dini Jadi Perhatian, Ini Datanya di Malang Raya
Selain itu, tantangan struktural seperti norma patriarki yang masih mengakar, rendahnya literasi HAM di sebagian komunitas. Serta celah implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membuat upaya pencegahan dan penanganan kerap berbenturan di lapangan.
Aktivis menilai bahwa peringatan tahunan hanya efektif ketika diikuti kebijakan nyata. Penyegaran kurikulum pendidikan gender, pelatihan aparat kepolisian dan tenaga kesehatan, serta mekanisme monitoring independen untuk evaluasi penanganan kasus. Tanpa langkah-langkah itu, kampanye ‘nol toleransi’ akan berhenti menjadi slogan.
Sumber: komnas perempuan
