1 tahun disway

Hari Penulis yang Dipenjara 15 November: Di Indonesia Ada Pramoedya hingga Mochtar Lubis

Hari Penulis yang Dipenjara 15 November: Di Indonesia Ada Pramoedya hingga Mochtar Lubis

Gejolak Protes untuk Memperjuangkan Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan sebagai Jurnalis --getty images

MALANGRAYA, DISWAYMALANG.ID--Pada tanggal 15 November, dunia memperingati Day of the Imprisoned Writer (Hari Penulis yang Dipenjara). Momen reflektif untuk mengingat para penulis, jurnalis, dan intelektual yang meringkuk di balik jeruji karena satu dosa besar dalam demokrasi: mengungkap kebenaran lewat kata.

Day of the Imprisoned Writer pertama kali diinisiasi oleh PEN International melalui komite spesialis mereka, Writers in Prison Committee, pada tahun 1981. Hari ini diperingati secara tahunan setiap tanggal 15 November sebagai wujud solidaritas terhadap para penulis yang ditahan atau dianiaya hanya karena menulis.

Di banyak negara, penjara bukan sekadar tempat hukuman fisik, tetapi alat represi terhadap kebebasan berpikir. Indonesia pun memiliki catatan kelam dalam sejarahnya. Di mana pena dan pikiran kritis pernah menjadi alasan untuk dibungkam secara paksa.

BACA JUGA:14 November Hari Dunia Lawan Perdagangan Benda Budaya Ilegal, RI Urus Pengembalian 28.000 Fosil dari Belanda

Kisah Legendaris: Pramoedya, Suara dari Pulau Buru

Tak bisa dilepaskan dari peringatan ini adalah sosok Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia. Simbol perjuangan kebebasan berpikir dan berkarya.

Pramoedya Ananta Toer ditangkap oleh otoritas kolonial Belanda dan rezim Orde Baru di bawah Soeharto.

Alasan dipenjara pada periode 1947-1949, karena Pram dituduh terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda.

Pada periode 1969-1979, dipenjara di Pulau Buru karena dianggap sebagai "komunis" oleh rezim Orde Baru. Meskipun ia menulis kritik halus terhadap kolonialisme, rasisme, dan korupsi.

Dipenjara di Kepulauan Maluku, Indonesia, tepatnya di antara Laut Seram di utara dan Laut Banda di selatan tersebut, Pram  tetap produktif. Tanpa akses bebas ke alat tulis, ia lalu menuturkan cerita-ceritanya secara lisan kepada sesama tahanan. Kemudian dituliskan menjadi novel terkenal berjudul “Buru Quartet” atau Kwartet Buru. 

Amnesty Indonesia, dalam peringatan 100 tahun kelahirannya pada Februari 2025 menyebut pengalaman penahanan Pramoedya sebagai pengingat bahwa negara tidak boleh lagi menahan warga hanya karena berkarya secara damai.


Pramoedya Ananta Noer-VOI-VOI

BACA JUGA:Symphonic Metal Day 13 November: Jejaknya dari Eropa hingga Indonesia, Ini 9 Lagu Kerennya

Penulisan dan Kebebasan di Indonesia

Sejarah penindasan terhadap jurnalis dan penulis di Indonesia juga mencatat nama-nama lain selain Pramoedya:

  • Mochtar Lubis, jurnalis dan pendiri koran Indonesia Raya, dipenjara 2 tahun karena dituduh terlibat Malari (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974, demo yang berujung jadi kerusuan besar. Mochtar Lubis dipenjara bersama Enggak Bahaudin, juga pentolan koran Indonesia Raya. Dituduh mengadakan rapat gelap puluhan aktivis penentang Orde Baru sebelum Malari. Tapi ada yang aneh dalam interogasi mereka. Banyak pertanyaan dari aparat justru soal liputan investigasi Indonesia Raya terhadap Pertamina, bukan ikhwal rapat gelap yang dituduhkan kepada mereka. Dalam penjara, Mochtar menulis buku "Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru". 
  • Ahmad Taufik dipenjara karena menerbitkan buletin Independen yang mengkritik kepemimpinan Presiden Soeharto. Dia dipenjara bersama Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo pada 1995 karena menyebarkan majalah Suara Independen. 
  • Oei Hiem Hwie, seorang jurnalis keturunan Tionghoa. Ia dituduh sebagai anggota PKI dan simpatisan Presiden Soekarno, yang menyebabkan penangkapannya pada akhir 1965. Ia ditahan secara berpindah-pindah dan akhirnya ke Pulau Buru pada 1970. Di Pulau Buru, ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer dan menjadi juru ketik serta editor untuk buku-buku Pramoedya.

Kini, meski beberapa pasal karet di telah dikoreksi, risiko kriminalisasi ekspresi masih nyata. Lembaga advokasi pers menyoroti bahwa pelaporan sering dilakukan menggunakan pasal pidana (bukan mekanisme etik pers). 

BACA JUGA:Anak “Fatherless”: Tantangan Tersembunyi di Balik Sosok Ayah yang Tak Terlihat

Refleksi dan Seruan Dramatis

Hari Penulis yang Dipenjara bukan sekadar tanggal di kalender. Ini panggilan moral:

  • Menghormati peringatan: Kita perlu mengingat bahwa di balik setiap karya sastra, esai kritis, atau laporan investigatif bisa ada nyawa yang terancam jika kebebasan berekspresi tidak dijamin.
  • Membangun sistem hukum yang adil: Pembatalan pasal-pasal kriminalisasi ekspresi adalah langkah maju, tapi penegakan hukum harus konsisten. Putusan Mahkamah Konstitusi harus diresapi dan diimplementasikan oleh pengadilan-pengadilan di bawahnya.
  • Mendorong budaya literasi kritis: Negara, lembaga pendidikan, pers rakyat, dan komunitas literasi lokal (termasuk di kota-kota seperti Malang) harus memperkuat ruang bagi suara-suara penulis, jurnalis, dan aktivis. Terutama mereka yang berpikir berbeda atau menyoroti ketidakadilan.
  • Memberi suara pada yang dilemahkan: Penulis penjara adalah simbol korban sistemik. Namun, dukungan publik, advokasi HAM, dan solidaritas komunitas literasi bisa menjadi pelita untuk mereka yang suaranya dibungkam.

BACA JUGA:Menelusuri Jejak Peradaban: 9 Candi di Malang Raya untuk Refleksi Hari Pahlawan

Hari ini, sambil memperingati Day of the Imprisoned Writer, kita tidak hanya mengenang nama-nama besar seperti Pramoedya. Tetapi juga harus terus waspada terhadap mekanisme hukum-budaya yang bisa kembali menjerat ide dan ekspresi di mana pun di Indonesia.

Sumber: international federation of journalists

Berita Terkait