16 November, Momen Angklung Ditetapkan jadi Warisan Dunia, Saatnya Lebih Melirik Pojok Angklung di Blimbing
--
BLIMBING, DISWAYMALANG.ID--Di tengah riuh lalu lintas, di pertigaan Jalan Borobudur-Jalan Achmad Yani, Blimbing, Kota Malang, getar bambu kecil bernama angklung mampu memaksa pengendara menoleh. Alunan nada indah dari alat musik bambu tersebut bersaing dengan bising kendaraan, menciptakan harmoni tersendiri.
Angklung memang bukan asli dari Malang. Tapi, para pemain angklung sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari satu pojok di Kota Malang tersebut. Menjadi perhatian karena harmoni dan aksi para pemainnya. Menjadi rutinitas yang melengkapi kisah-kisah dari Kota Malang.
Lebih-lebih, hari ini, tanggal16 November yang adalah hari penting bagi angklung. Inilah tanggal saat angklung Indonesia resmi diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Sebuah pengakuan yang menegaskan peran alat musik ini bukan sekadar hiburan, melainkan penanda identitas budaya yang mengikat komunitas.
Dan, pada momen istimewa bagi per-angklung-an di Indonesia ini, layak kita memberi perhatian lebih kepada para pemain angklung di perempatan Blimbing itu. Mereka memang pemusik jalanan. Namun, mereka termasuk yang ikut melestarikan karya seni asli tradisional asli Indonesia yang mendapat pengakuan dunia.
Mengapa 16 November Menjadi Penanda Penting?
Angklung adalah seni tradisional yang berasal dari Jawa Barat. Ini adalah tradisi yang melekat pada upacara panen, penanaman padi, dan ritus-ritus sosial di Jawa Barat dan Banten. Membawa nilai-nilai kebersamaan, disiplin, dan hidup dalam kebersamaan.
Angklung mengajarkan kolaborasi (setiap pemain memegang nada yang berbeda tapi harus bersinergi). Pewarisan pengetahuan, dan praktik komunitas yang berkelanjutan. Dengan kata lain, angklung diakui karena ia menyalakan dialog antara musik, etika sosial, dan tradisi hidup.
Sejak pencatatan UNESCO, sorotan terhadap angklung melonjak. Dari pertunjukan di Saung Angklung Udjo yang menjadi pusat pendidikan budaya. Hingga gelombang partisipasi internasional yang menempatkan angklung sebagai alat diplomasi budaya.
Event-event pengumpulan massal pemain angklung yang memecahkan rekor dunia memperlihatkan bahwa bambu kecil ini punya daya sebar yang kuat. Ia bukan lagi sekadar artefak desa, melainkan simbol kebanggaan nasional yang sanggup mengumpulkan ribuan tangan untuk satu melodi bersama.

Sambil memegang alat musik tradisional Indonesia -Toru Yamanaka/AFP-getty images
Angklung di Malang Raya
Namun pengakuan internasional tidak serta-merta meredam tantangan pelestarian. Di kota-kota besar seperti Malang Raya, angklung hidup di zona yang kontras, dari panggung festival budaya hingga trotoar kota. Pemerintah Kota Malang mencatat bahwa komunitas angklung lokal kerap tampil dalam acara kebudayaan dan pariwisata.
Misalnya penampilan angklung di kawasan Kayutangan. Sebagai bagian dari upaya menjaga tradisi sekaligus memberi ruang ekonomi bagi pelaku seni. Tapi di sisi lain, pola hidup urban memaksa banyak pemain angklung mencari nafkah di ruang publik yang lebih pragmatis: persimpangan lampu merah.
Fenomena angklung di lampu merah Blimbing bukan sekadar pemandangan budaya, ia adalah lukisan sosial. Di sekitar perempatan Blimbing, sejumlah pemain angklung rutin menghibur pengendara dan pejalan kaki sambil berharap sekadarnya upah dari belas kasih.
BACA JUGA:Hari Penulis yang Dipenjara 15 November: Di Indonesia Ada Pramoedya hingga Mochtar Lubis
Sumber: malang city portal
