1 tahun disway

Meredam Bara Sebelum Menjadi Api, Mengenal De-Escalation Tactics dalam Dunia Kerja

Meredam Bara Sebelum Menjadi Api, Mengenal De-Escalation Tactics dalam Dunia Kerja

Ilustrasi Konflik di Kantor-pinterest-

MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Setiap kantor punya potensi konflik. Ada yang kecil seperti salah paham soal email. Ada pula yang besar, seperti gesekan antara divisi yang membuat satu proyek jadi mandek. Tapi tak semua konflik harus meledak. Kadang, justru perlu strategi untuk menurunkan suhu sebelum emosi membakar semuanya.

Itulah fungsi dari de-escalation tactics — serangkaian pendekatan yang digunakan untuk mengurangi intensitas konflik, memperlambat ketegangan, dan mengarahkan energi konflik ke jalur yang lebih konstruktif.

BACA JUGA:Kerja Tim Tak Lahir Secara Instan! Kenali Tuckman's Team Development

Yuk Kita Bahas!

1. Strategic Silence: Diam yang Didesain untuk Menenangkan

Bukan berarti tidak bicara, tapi tahu kapan harus berhenti bicara. Saat lawan bicara sedang marah, reaktif, atau emosi, kadang satu-satunya strategi yang berhasil adalah memberikan ruang. Strategic silence dilakukan dengan sengaja untuk memberikan waktu otak lawan bicara untuk menurunkan adrenalin.

Saat seorang manajer misalnya membentak karena laporan telat, tim tidak langsung membela diri. Salah satu anggota hanya menjawab, “Saya dengerin dulu, ya.” Setelah 20 detik diam, barulah ia ajukan pertanyaan klarifikasi. Suhu percakapan langsung turun drastis.

2. Emotion Labeling: Menamai Perasaan, Menetralkan Ketegangan

Ini taktik: memberi nama pada emosi orang lain membantu mereka merasa divalidasi, bahkan sebelum diberikan solusi.

Contoh : Dalam rapat evaluasi, ketika seorang anggota tim terlihat gusar karena dikritik, atasan bisa berkata, “Keliatan kecewa karena kerja kerasmu tidak dianggap.” Ini memecah benteng emosional dan membuka ruang diskusi yang sehat.

3. Mirroring dan Paraphrasing: Mengulang Bukan Meniru

Taktik ini memperlihatkan bahwa pihak yang bersangkutan mendengarkan dengan aktif dan tidak menyela secara defensif. Dengan mengulang poin penting lawan bicara dalam kata-kata sendiri, emosi bisa diredam dan persepsi bisa diluruskan.

Contoh nyata: Ketika staf bilang, “Brief dari marketing selalu tidak jelas,” manajer bisa menjawab, “Jadi yang dirasakan, brief sering berubah-ubah dan bikin kerjaan tidak fokus, ya?” Ini membuat keluhan tidak dianggap angin lalu.

4. Non-Threatening Body Language: Bahasa Tubuh yang Meredakan

Sumber: cisa