KOTA MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Pernahkah mengalami, niatnya mau nyantai dengan scrolling info dan hiburan di media sosial jadinya malah sumpeg, emosi naik? Itu terjadi misalnya, saat membuka medsos, Anda memperhatikan beberapa kolega Anda sedang berjalan-jalan di Maldives. Ada yang sedang menikmati hidangan makan siang yang spesial di restoran yang sedang viral.
Semakin Anda telusuri postingan demi postingan itu, kegelisahan Anda bertambah. Emosi makin tidak stabil. Lalu muncul rasa ampuran antara rasa dikucilkan, benci diri, dan iri hati.
Fenomena psikologi ini adalah FOMO atau kerap disebut Fear of Missing Out. Menurut Travers (2020) dalam penelitiannya FOMO merupakan kecemasan terus menerus ketika tahu orang lain sedang mengalami hal yang menyenangkan dan kita tidak ada di situ atau tidak terlibat di dalamnya.
FOMO membuat kita fokus pada apa yang terjadi di luar sana daripada sepenuhnya hadir dalam pengalaman di depan mata.
Lalu, apa penyebab FOMO? Kemungkinan besar bermula dari pengaruh ponsel atau smartphone. Ponsel memudahkan kita untuk tahu apa yang selalu terjadi di luar sana. Kita bisa mengecek cuaca, membaca berita, tahu tentang suatu peristiwa dimanapun dan kapan pun..
FOMO memang bukan hal baru, dulu FOMO dipicu oleh halaman koran sehari sekali atau foto-foto wisata waktu berkunjung ke rumah teman. Sekarang, medsos memudahkan kita untuk melihat apa yang semua teman atau keluarga kita lakukan sepanjang waktu.
Orang yang sering menggunakan medsos, paling rentan terkena FOMO. Orang yang FOMO cenderung sering memeriksa feeds medsos teman dan keluarga agar gak kelewatan apa yang terjadi dalam hidup mereka.
"Tapi seseorang juga bisa jadi FOMO ketika terus menerus tergoda notifikasi atau umpan-umpan medsos orang lain yang menunjukkan orang lain melakukan hal luar biasa sepanjang waktu," ujar Marissa dalam tayanganbYouTubenya "Great Mind".
Penelitian juga menunjukkan, FOMO rentan terjadi pada mereka yang merasa kesepian, terisolasi, dan punya pandangan negatif terhadap diri sendiri. Sehingga menimbulkan rendah diri dan kurang mencintai dan menerima diri sendiri.
FOMO berdampak negatif pada suasana hati dan tingkat kepuasan hidup. Orang yang memiliki FOMO yang tinggi cenderung lebih depresif, cemas, neurotik, bermasalah dengan tidur dibandingkan dengan mereka yang FOMO yang rendah.
Tips Menghindari FOMO
Lalu bagaimana cara mengatasi FOMO? Anda dapat hindari FOMO dengan pilihan cara berikut:
- Kurang waktu main medsos secara signifikan, coba cuti seminggu penuh dari medsos. Jika merasa jiwa lebih sehat dan mental lebih nyaman dengan kebiasaan baru ini, silahkan dilanjut. Semakin tidak terikat Anda dengan medsos atau posel, semakin jauh Anda dari FOMO.
- Ubah titik perhatian Anda. Kurangi fokus pada apa yang tidak ada dalam hidup Anda, kuatkan fokus pada hal baik yang sudah ada dalam hidup Anda. Misal daripada "duh aku kok gak lagi di tempat liburan yang lagi hits itu ya" kita ubah dengan "aku sekarang di rumah, menikmati angin semilir, suara burung berkicau, aku sehat, semua makhluk yang aku sayangi sehat, I'm greatfull life is good".
- Self-Compassion, tumbuhkan welas asih terhadap diri sendiri. ketika Anda terhubung dengan diri, Anda akan lebih bisa menerima diri. Anda tidak akan lagi sibuk dengan membandingkan kehidupan Anda dengan orang lain.
- Interaksi dengan orang lain secara teratur, bukan di medsos. Pertemuan tatap muka secara langsung atau video call dapat menghasilkan interaksi dan hubungan yang lebih kaya, kompleks, dan nyata. Ini mengurangi perasaan kesepian atau terasing.
- Ubah pola pikir FOMO menjadi JOMO (Joy of Missing Out). Menurut Kristen Fuller seorang dokter dan penulis kesehatan mental klinis, JOMO adalah penangkal FOMO yang cerdas, karena dengan JOMO kita pada dasarnya hadir dan puas dengan di mana kita berada sekarang dalam hidup, atau dalam kata lain mindfullness.
Waktu kita terbatas dalam hidup ini. Ketika kita jeli, kita bisa kok cari bahagia dari apa dan siapa yang ada disekitar kita. So, Goodbye FOMO and Hello JOMO!