Dampak Pemberlakuan Royalti, Kafe Tanpa Lagu Hits, Suasana Jadi Beda
--
KOTA MALANG, DISWAYMALANG.ID – Pernah merasa ada yang kurang saat nongkrong di kafe akhir-akhir ini? Bisa jadi bukan cuma kopi yang hambar, tapi suasananya yang terasa sepi.
Belakangan, sejumlah kafe dan tempat makan di Malang maupun kota-kota besar lainnya memilih tidak lagi memutar lagu-lagu populer. Alasannya? Takut kena denda royalti.
Fenomena ini muncul setelah wacana penertiban pemutaran musik di ruang publik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kembali mencuat. Aturannya sebenarnya sudah lama ada: lagu yang diputar di ruang publik seperti kafe, restoran, hotel, atau pusat perbelanjaan harus membayar royalti kepada pemilik hak cipta.
Namun, baru belakangan ini mulai banyak yang benar-benar waspada dan bahkan memilih ‘puasa musik’.
“Biasanya kami putar playlist Spotify lagu-lagu indie pop atau jazz kekinian. Tapi sekarang dimatikan dulu. Takut kena razia,” ujar Hani, pemilik salah satu kafe di kawasan Oro-Oro Dowo, Kota Malang.
Menurutnya, selain karena belum tahu cara resmi membayar royalti, pemilik kafe juga khawatir biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan mereka.
“Kami UMKM. Bukan franchise besar. Kalau harus bayar jutaan rupiah per tahun, jujur berat. Tapi kalau nggak bayar, takut kena sanksi,” ujarnya.
Padahal, musik menjadi bagian tak terpisahkan dari atmosfer kafe. Banyak pengunjung yang datang bukan hanya untuk menyeruput kopi, tapi juga menikmati suasana—yang diciptakan dari kombinasi interior estetik dan musik yang relevan.
Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, setiap pihak yang memutar lagu untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMKN. Sistem ini dikenal dengan istilah public performance rights.
Namun, banyak pelaku usaha kecil merasa tidak tahu ke mana harus membayar, bagaimana sistemnya, hingga apakah lagu-lagu di platform digital seperti Spotify atau YouTube yang sudah mereka bayar, tetap kena kewajiban royalti.
“Padahal kami sudah langganan Spotify Premium. Bukannya itu sudah bayar hak cipta?” ujar Galih, barista sekaligus pengelola kafe di Jalan Soekarno-Hatta.
Sayangnya, berlangganan platform streaming hanya untuk pemakaian pribadi, bukan untuk ruang publik. Di situlah letak perbedaan mendasarnya.
Dihubungi terpisah, pihak LMKN menyatakan bahwa sosialisasi tentang kewajiban royalti terus digencarkan. Bahkan mereka menyediakan fitur pembayaran daring lewat website resmi dan juga klasifikasi tarif khusus UMKM, bukan tarif besar seperti hotel atau mall.
Sumber: antara news
