Soal Royalti Putar Lagu di Kafe Direspons Wakil Ketua DPR RI: Akan Ada Revisi UU Hak Cipta
Ilustrasi suasana di sebuah kafe di Malang--Istimewa
JAKARTA, DISWAYMALANG.ID -Entah ini kabar baik apa kabar buruk. DPR RI ternyata sedang melakukan upaya revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tujuannya, untuk mengakomodasi perkembangan dan kebutuhan industri musik yang terus berkembang.
"Kami sudah minta Kementerian Hukum yang kemudian juga membawahi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk juga kemudian membuat aturan yang tidak menyulitkan," kata Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/8).
Menurut Dasco, pengenaan biaya royalti yang diatur dalam UU Hak Cipta tersebut, perlu dicermati dengan bijak. Terutama terkait dengan dampaknya terhadap para pelaku usaha."DPR RI juga mencermati dunia permusikan yang beberapa saat ini ada dinamika," ujarnya.
Sumi Dasco menambahkan, proses revisi UU Hak Cipta ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum serta solusi atas polemik terkait biaya royalti.
Seperti diketahui, pengenaan biaya royalti atas pemutaran lagu secara komersial di kafe dan restoran memicu perdebatan sengit di ruang publik. Isu ini semakin mengemuka setelah adanya kebijakan yang mengharuskan pengelola tempat usaha untuk membayar royalti sebagai bentuk penghargaan terhadap hak cipta para musisi dan pelaku industri musik lainnya.
BACA JUGA:Dampak Pemberlakuan Royalti, Kafe Tanpa Lagu Hits, Suasana Jadi Beda
Tarif Paling Rendah
Di lain sisi, Ketua Umum Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengingatkan pentingnya pembayaran royalti sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum dan penghargaan terhadap hak cipta musisi. Dia menyebut bahwa tarif royalti yang ditetapkan di Indonesia terbilang paling rendah dibandingkan negara lain.
"Royalti kita, tarif kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu bentuk kepatuhan hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum, itu saja jawabannya," ujar Dharma.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menkumham, tarif royalti yang ditetapkan untuk restoran dan kafe adalah sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun untuk hak pencipta dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk hak terkait (penyanyi, produser).
Totalnya, pengelola kafe atau restoran harus membayar Rp 120.000 per kursi setiap tahunnya.
Meski tarif royalti ini relatif rendah, kebijakan tersebut tetap menuai kritik dari berbagai pihak. Beberapa pengelola kafe dan restoran menganggap biaya ini dapat membebani operasional mereka, terutama di tengah persaingan usaha yang semakin ketat.
BACA JUGA:Temuan Tim Peneliti UB Berupa 5 Spesies Baru Cacing Diakui Dunia, 2 Spesies Diabadikan dengan Nama Brawijaya
Namun, di sisi lain, musisi dan pelaku industri musik lainnya menilai bahwa pengenaan royalti adalah hal yang wajar dan perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan industri musik tanah air.
Mereka berharap adanya kebijakan yang adil dan tidak memberatkan kedua belah pihak, baik pengusaha maupun musisi.
Sumber: disway news network
