Perjalanan mereka hingga tampil di konferensi internasional juga tidak mudah. Jessica menceritakan proses seleksi abstrak yang ketat, “Kami mengirim dua abstrak satu kategori inovasi dan satu case report. Keduanya diterima, dan syukurnya UB mengirim satu tim untuk berangkat. Kami benar-benar tidak menyangka akan lolos dua-duanya.”
Presentasi mereka dalam NEMS 2025 tidak hanya menampilkan data penelitian. Tetapi juga menunjukkan bagaimana model kerja sama akademik dan komunitas dapat memperkuat layanan kesehatan di tingkat akar rumput.
Seluruh aktivitas EMT mahasiswa ini berjalan di bawah supervisi dokter profesional, sehingga tetap berada dalam koridor keamanan dan etika kedokteran. Tim ini dianggap mampu memberikan kontribusi nyata dalam memperkuat sistem prehospital care, terutama di daerah dengan keterbatasan layanan EMS.
Mengenai arah pengembangan, ketiga mahasiswa ini sepakat bahwa program harus terus diperluas. Jessica menuturkan, “Ke depan, kami ingin menambah anggota dan memperkuat pelatihan. SOP juga terus kami revisi supaya lebih kuat karena program ini baru berjalan sejak Juni.”
Mereka juga berharap program ini dapat melibatkan mahasiswa lintasfakultas agar semakin banyak sumber daya yang terjun ke masyarakat.
Rayyan menambahkan, “Kalau mahasiswa dari luar kedokteran bisa terlibat, dampaknya akan lebih besar. Kita butuh banyak SDM untuk memperluas jangkauan.”
Rajveer kemudian menyampaikan harapan jangka panjang mereka, “Setahu kami, program seperti ini baru ada di UB. Harapannya bisa jadi role model bagi universitas lain. Semoga sistem EMS Indonesia bisa semakin kuat melalui inovasi seperti ini.”