Puisi ini menggambarkan perasaan kosong dan kehilangan makna hidup, meskipun berada di tengah dunia yang ramai.
Di era digital, banyak orang aktif di media sosial tetapi tetap merasa kesepian. "Hampa" adalah refleksi dari mereka yang merasa asing di tengah keramaian, kehilangan tujuan hidup, atau merasa hidupnya hampa meski memiliki segalanya, puisi ini menjadi validasi akan perasaan hampa yang dapat dirasakan semua orang sebagai manusia pada umumnya.
3. "Penerimaan" (1943) – Merelakan Takdir yang Tak Bisa Diubah
"Jika kau mau, kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi"
Puisi ini berbicara tentang ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kenyataan. Kadang, kita dipaksa menerima sesuatu yang tak bisa diubah, entah itu perpisahan, kegagalan, atau kehilangan seseorang yang kita cintai.
Di era sekarang, "Penerimaan" menjadi pengingat bahwa hidup sering kali berjalan di luar kendali kita, tetapi kita tetap harus bertahan, menerimanya dan maju ke depan.
4. "Derai-Derai Cemara" (1949) – Hidup adalah Perjalanan Menuju Perpisahan
"Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam"
Ditulis menjelang kematiannya, puisi ini mencerminkan kesadaran bahwa hidup adalah perjalanan menuju akhir.
Ketika kita sering kehilangan orang-orang terdekat—karena jarak, perpisahan, atau kematian—puisi ini mengajarkan bahwa setiap pertemuan pasti memiliki akhir, dan kita harus belajar menerima hal itu dengan lapang dada.
5. "Cintaku Jauh di Pulau" (1946) – Rindu yang Tak Bisa Tersampaikan
"Cintaku jauh di pulau