MALANG, DISWAYMALANG.ID--Di antara beragam jajanan tradisional Indonesia, kue nagasari menempati posisi istimewa. Bentuknya sederhana, dibungkus daun pisang, berwarna putih dengan isian pisang di bagian tengah. Meski tampil apa adanya, nagasari bukan sekadar kudapan pengganjal perut, tetap panganan yang sarat makna dan nilai budaya.
Kue berbahan dasar tepung beras ini telah lama hadir dalam berbagai acara adat masyarakat Jawa, terutama pada kenduri atau selamatan. Kehadirannya bukan tanpa alasan.
Di balik rasa legit dan lembutnya, nagasari dipercaya menyimpan sejarah panjang serta filosofi tentang ketulusan, penghormatan, dan doa bagi sesama.
Jejak Sejarah Kue Nagasari
Asal-usul kue nagasari kerap dikaitkan dengan wilayah Indramayu, Jawa Barat. Daerah ini dikenal sebagai lumbung beras, sehingga wajar jika banyak kuliner tradisionalnya berbahan dasar tepung beras. Dari sanalah nagasari diperkirakan berkembang sebagai makanan rakyat yang mudah dibuat dari bahan lokal.
Nama nagasari sendiri diyakini berasal dari gabungan kata naga dan sari. Naga kerap dimaknai sebagai simbol kehormatan dan kemuliaan dalam budaya Asia, sementara sari berarti inti atau isi utama. Jika digabungkan, nagasari dapat dimaknai sebagai “inti yang mulia” atau sesuatu yang bernilai luhur di dalam kesederhanaan.
Versi sejarah lain menyebutkan bahwa nagasari telah dikenal sejak masa Kerajaan Pajang pada paruh pertama abad ke-16. Dalam kisah tersebut, Adipati Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menyambut seorang pendeta Buddha bernama Mahawiku Astapaka yang tengah menuju Candi Borobudur.
Sang pendeta disuguhi hidangan berbahan tepung beras dengan isian pisang. Hidangan itu meninggalkan kesan mendalam, hingga pendeta tersebut mendoakan kemakmuran kerajaan Pajang dan menamai sajian tersebut nagasari karena bentuknya mengingatkan pada pohon dewandaru.
Filosofi di Balik Kesederhanaan Nagasari
Lebih dari sekadar makanan, nagasari mengandung simbol ketulusan hati. Balutan daun pisang melambangkan kesederhanaan, sementara isian pisang di bagian tengah mencerminkan niat baik dan doa yang tersembunyi di dalam hati tuan rumah.
Kue nagasari kerap dihadirkan dalam acara kenduri atau selamatan. Kenduri sendiri merupakan tradisi lama masyarakat Nusantara yang berfungsi sebagai ruang sosial untuk memohon keselamatan, berkah, dan kelancaran suatu hajat.
Dalam praktiknya, kenduri menjadi wadah mempererat hubungan sosial, memulihkan keharmonisan, serta menjaga nilai kebersamaan dalam masyarakat.
Menariknya, tradisi ini juga mencerminkan pembagian peran sosial. Kaum laki-laki berkumpul mengikuti doa bersama, sementara kaum perempuan berperan besar dalam proses persiapan makanan, termasuk nagasari. Dari dapur inilah terjalin komunikasi, solidaritas, dan pertukaran cerita antarwarga yang memperkuat ikatan sosial.
Resep Kue Nagasari Tradisional
Bahan-bahan
- 250 gram tepung beras
- 600 ml santan
- 100 gram gula pasir
- ½ sdt garam
- 4–5 buah pisang raja atau pisang kepok, potong memanjang
- Daun pisang secukupnya (untuk membungkus)
- Lidi atau tusuk gigi (untuk penyemat)
Cara Membuat
- Campurkan tepung beras, gula, dan garam dalam wadah, aduk hingga rata.
- Tuang santan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga adonan licin dan tidak bergerindil.
- Panaskan adonan di atas api kecil sambil terus diaduk hingga mengental dan meletup-letup, lalu angkat.
- Ambil selembar daun pisang, letakkan satu sendok adonan, beri potongan pisang di tengahnya.
- Tutup kembali dengan adonan, lalu bungkus rapi daun pisang dan sematkan dengan lidi.
- Kukus kue nagasari selama 20–30 menit hingga matang.
- Angkat dan dinginkan sebelum disajikan.
Di tengah gempuran makanan modern dan jajanan instan, kue nagasari tetap bertahan sebagai simbol tradisi dan kearifan lokal. Kehadirannya dalam kenduri dan acara adat bukan sekadar pelengkap hidangan, melainkan bagian dari mekanisme sosial yang menjaga kebersamaan, ketulusan, dan nilai spiritual masyarakat.
Nagasari mengajarkan kesederhanaan dapat menyimpan makna mendalam. Sekaligus menjadi pengingat bahwa makanan tradisional bukan hanya soal rasa. Tetapi juga tentang sejarah, doa, dan harapan yang diwariskan lintas generasi.