1 tahun disway

Guru Besar Hukum UB Angkat Bicara soal Maraknya Penculikan Anak

Guru Besar Hukum UB Angkat Bicara soal Maraknya Penculikan Anak

Foto Guru Besar Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum--prasetya.ub.ac.id

MALANG, DISWAYMALANG.ID--Guru Besar Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Prof Dr Nurini Aprilianda SH MHum menanggapi maraknya kasus penculikan anak yang terjadi di Indonesia.

Dia menegaskan, Indonesia harus memperkuat sistem perlindungan anak secara menyeluruh untuk menjawab maraknya kasus penculikan dengan berbagai modus. Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka hukum yang kuat, namun kasus penculikan anak tetap terjadi karena implementasi di lapangan belum efektif.

Dalam beberapa bulan terakhir, kasus penculikan anak kembali marak dan menimbulkan kekhawatiran luas di masyarakat. Puncaknya terjadi setelah hilangnya Bilqis (4), balita asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang diculik orang tak dikenal (OTK) saat bermain di Taman Pakui, Jalan Andi Pangerang Pettarani, Kecamatan Panakkukang, pada Minggu (2/11/2025).

Bilqis ditemukan di Jambi setelah perjalanan panjang lintas provinsi, dan kasus ini menjadi titik awal pengungkapan jaringan lebih besar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

 

Namun, Bilqis bukanlah satu-satunya korban. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga November 2025 tercatat enam kasus penculikan anak terjadi di Indonesia.

Disampaikan Prof Nurini, UUD 1945, UU Perlindungan Anak, KUHP baru, dan berbagai aturan pelaksana sudah memberikan dasar hukum yang memadai.

Ia menjelaskan, sanksi pidana saat ini merujuk pada KUHP yang masih berlaku, terutama Pasal 328 dan 330 KUHP lama, dengan ancaman hingga 12 tahun penjara. Sementara itu, ketentuan dalam KUHP baru dapat digunakan sebagai rujukan normatif karena sudah disahkan tetapi belum mulai berlaku.

Aparat juga dapat menggunakan Pasal 76F dan Pasal 83 UU Perlindungan Anak, serta menerapkan UU No. 21 Tahun 2007 (UU TPPO) apabila ditemukan unsur eksploitasi. Menurutnya, seluruh ketentuan tersebut memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana tegas sekaligus memastikan pemulihan anak korban.

Dalam keadaan tertentu, jika orang tua kandung (mantan suami/istri) terlibat tindak pidana penculikan, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi hal tersebut bisa dipidana dengan dasar Pasal 330 KUHP Lama.

“Instrumen hukumnya sudah lengkap, tetapi efektivitasnya bergantung pada koordinasi dan kewaspadaan masyarakat,” ujar Prof Nurini.

Kelalaian Para Penegak Hukum dan Budaya "Main Hakim" Masyarakat

Dari perspektif teori efektivitas hukum Lawrence M Friedman, Prof Nurini menilai bahwa kelemahan utama penyelesaian kasus penculikan anak berada pada struktur hukum (aparat penegak hukum) dan budaya hukum masyarakat.

Ia menjelaskan, koordinasi antara Polri, pemerintah daerah, sekolah, dan dinas sosial belum berjalan responsif. Upaya deteksi dini seperti CCTV lingkungan atau sistem peringatan cepat juga belum merata.

Di sisi lain, ia menilai masyarakat masih kurang waspada terhadap modus penculikan dan cenderung tidak melaporkan perilaku mencurigakan di lingkungan sekitar.

Prof Nurini juga menyoroti persoalan adopsi ilegal yang melibatkan sindikat penculikan. Ia menjelaskan masyarakat tidak dapat serta-merta dipidana apabila mengadopsi anak tanpa mengetahui bahwa anak tersebut berasal dari jaringan penculikan.

Namun, ia menegaskan, seseorang dapat dikenai sanksi pidana jika mengabaikan prosedur adopsi dan dengan sengaja atau patut menduga adanya kejanggalan dalam prosesnya.

”Masyarakat yang memang mau mengadopsi anak harus mematuhi hukum yang berlaku, caranya dengan verifikasi identitas, mengikuti prosedur Dinas Sosial, dan memastikan adanya penetapan pengadilan sebelum mengadopsi anak,” terang Prof Nurini.

Sumber: prasetya.ub.ac.id

Berita Terkait