1 tahun disway

Program Layanan Gawat Darurat Mahasiswa FK UB Tembus Konferensi di Malaysia

Program Layanan Gawat Darurat Mahasiswa FK UB Tembus Konferensi di Malaysia

Tiga Mahasiswa Fakultas Kesehatan Universitas Brawijaya di National Emergency Medical Services Conference (NEMS) 2025 di Malaysia, 22–23 November 2025--prasetya.ub.ac.id

MALANG, DISWAYMALANG.ID--Tiga mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya (UB)  UB) meraih Juara 3 kategori Oral Presentation pada ajang National Emergency Medical Services Conference (NEMS) 2025 di Malaysia, 22–23 November 2025. Merek adalah Jessica Anna, Muhammad Rayyan Doli Rangkuty, dan Rajveer Singh Mann. 

Prestasi ini diraih melalui penelitian dan implementasi inovatif mengenai student-based Emergency Medical Technician (EMT). Sebuah program layanan kegawatdaruratan berbasis mahasiswa yang dirancang untuk menjawab minimnya tenaga EMT profesional di Indonesia.

Dalam presentasinya, tim menjelaskan, masalah utama yang mereka hadapi adalah keterbatasan jumlah EMT profesional yang sering menghambat intervensi awal di lapangan.

“Kami melihat ada gap besar di lapangan. Banyak relawan, tapi sertifikasinya hanya PPGD atau PHD. Padahal kasus kegawatdaruratan sekarang semakin kompleks dan membutuhkan kompetensi lebih dari itu,” ujar Jessica.

Gagasan program ini muncul dari evaluasi aset yang dimiliki FK UB. “Dulu ambulans hanya dipakai buat angkut-angkut logistik mahasiswa. Padahal kami punya dokter, punya fasilitas, dan kami punya mahasiswa yang sudah belajar teori kedokteran. Jadi kami berpikir kenapa tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk masyarakat,” ujarnya.

Pengadaan Pelatihan Intensif dan Sertifikasi Life Support

Melalui program ini, mahasiswa FK UB mengikuti pelatihan intensif dan sertifikasi program pelatihan penyelamatan jiwa. Seperti BLS (Basic Life Support), ITLS (International Trauma Life Support), ATLS (Advanced Trauma Life Support). Juga, pelatihan eksternal dari RS Universitas Brawijaya dan Ambulans Gawat Darurat (AGD) 118, termasuk sertifikasi pengemudi ambulans. Dengan demikian, mahasiswa memiliki bekal yang cukup kuat untuk melakukan pertolongan pertama yang terstruktur.

Mereka membentuk tim EMT kecil yang mulai turun ke masyarakat sejak Juni 2025. Selama periode penelitian Juni hingga Oktober 2025, student-based EMT mencatat 65 aktivasi ambulans, dengan 60% di antaranya merupakan kasus trauma. Kecelakaan lalu lintas, fraktur, stroke, kejang, dan gangguan pernapasan menjadi kasus yang paling sering ditangani. 

Mengenai tingginya angka trauma tersebut, Rayyan menjelaskan, “Kasus trauma ini signifikan sekali, terutama karena banyak pengendara motor yang tidak memakai helm. Dari sini terlihat bahwa kesadaran keselamatan masih rendah.”

Dari seluruh kasus, 70% dikategorikan Prioritas 2, 20% Prioritas 1, dan 10% Prioritas 3. Mereka melakukan triage dengan primary survey: mengecek kesadaran, airway, breathing, circulation, dan tanda vital awal sebelum menentukan prioritas.

Rajveer menjelaskan, “Kalau pasien masih bisa respons, airway dan breathing oke, tapi ada fraktur dan tidak bisa bergerak, maka otomatis itu masuk P2. Jadi penentuan prioritas tetap harus objektif sesuai kondisi pasien.”

Meski mendapat pelatihan intensif, ketiga mahasiswa ini mengaku menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kewenangan mereka sebagai mahasiswa yang belum memiliki izin praktik penuh.

Rajveer mengatakan, “Karena kami ini masih mahasiswa, keputusan teknis seperti pemberian obat harus dikonsulkan dulu ke dokter pembimbing atau PPDS Emergency yang sedang on-call. Kadang proses itu memakan waktu sementara kondisi di lapangan sangat dinamis dan butuh keputusan cepat.”

Selain itu, tekanan sosial di lapangan juga menjadi hambatan ketika menangani kecelakaan. Mereka harus berhadapan dengan kerumunan warga, koordinasi dengan polisi, dan relawan lain, sambil tetap menjaga fokus pada penanganan pasien.

“Kasus kecelakaan itu paling menantang. Di TKP semuanya bercampur: warga berkerumun, polisi perlu laporan, dan pasien harus segera ditangani. Itu sebabnya koordinasi sangat penting,” tambah Rayyan.

Langkah Menuju Konferensi Internasional

Sumber: prasetya.ub.ac.id

Berita Terkait