UB Tuan Rumah Workshop Internasional, Hadirkan Akademisi Berbagai Penjuru
Workshop internasional kolaborasi FPIK UB, BRIN dan IOC-WESTPAC UNESCO bertujuan menyatukan sains, kebijakan, dan aksi nyata demi keberlanjutan pulau-pulau kecil di Asia Pasifik.--prasetya.ub.ac.id
MALANG, DISWAYMALANG.ID--Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyelenggarakan The 2nd International Workshop on Small Island Research and Development (SIRaD), Kamis (2/10) hingga Sabtu (4/10). Kegiatan ini juga didukung Intergovernmental Oceanographic Commission’s Sub-Commission for the Western Pacific (IOC-WESTPAC) UNESCO.
Event internasional ini mempertemukan akademisi, peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi konservasi dari Indonesia, China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand. Membahas tantangan sekaligus peluang keberlanjutan pulau-pulau kecil di kawasan Western Pacific.
Workshop dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Internasionalisasi UB Prof Andi Kurniawan SPi MEng DSc. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki ribuan pulau kecil dengan potensi luar biasa. Namun, juga menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim, degradasi pesisir, keterbatasan sumber daya, serta tekanan pembangunan.
“SIRaD hadir untuk memastikan riset tidak berhenti di meja akademik, tetapi menjadi pijakan nyata bagi kebijakan dan aksi berkelanjutan,” ujarnya.
Pada hari pertama, kegiatan diisi dengan tiga sesi diskusi utama. Yaitu Institutional and National Status on Small Island Research and Development, Pilot Island Experiences Comparative Lessons, dan Indonesian Stakeholder Perspectives on Small-Island Research and Development.
Para peserta berbagi pandangan yang memperkaya wawasan lintasnegara. Perwakilan Jepang menggambarkan pulau kecil sebagai “kanari” yang sensitif terhadap krisis global. Sehingga dapat menjadi indikator awal perubahan ekosistem bumi.
Delegasi Malaysia menyoroti pentingnya keseimbangan antara pariwisata dan konservasi. Agar pulau tidak kehilangan identitas ekologisnya. Sementara dari Indonesia muncul perhatian besar terhadap isu sampah laut dan mikroplastik yang mengancam keberlanjutan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat pesisir.
Hari kedua difokuskan pada sesi Insights into Stakeholders’ Perceptions of the Ocean and Small Islands serta diskusi kelompok untuk merumuskan arah keberlanjutan SIRaD. Para peserta menyepakati pentingnya penyamaan persepsi dalam menetapkan framework pengembangan pulau kecil, menentukan prioritas riset, serta memperkuat keterkaitan antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan kebutuhan masyarakat.
Refleksi bersama tersebut menegaskan bahwa SIRaD sejalan dengan agenda global tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), SDG 14 (Ekosistem Laut), SDG 15 (Konservasi Daratan dan Hutan Pesisir), serta SDG 17 (Kemitraan untuk Tujuan).
Sebagai penutup, hari ketiga diisi dengan kunjungan lapangan ke Sendangbiru dan Pulau Sempu. Di lokasi tersebut, tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur memaparkan upaya pengelolaan kawasan konservasi. Mulai perlindungan hutan pesisir, patroli kawasan, hingga penanganan ancaman wisata ilegal, sampah, dan spesies invasif.
“Pulau Sempu adalah laboratorium alam yang harus dijaga. Jika hilang, hilang pula benteng terakhir hutan pesisir di Jawa,” tegas Iwan, perwakilan BBKSDA.
Workshop ini tidak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga menghasilkan komitmen nyata berupa Rencana Aksi SIRaD 2025–2027. Dokumen tersebut memuat agenda riset kolaboratif lintas negara, rekomendasi kebijakan aplikatif, serta strategi penguatan jejaring SIRaD di kawasan Western Pacific.
Dari Malang, para ilmuwan, pengambil kebijakan, dan masyarakat pesisir bergema, menyuarakan pesan kuat bahwa menjaga pulau kecil berarti menjaga masa depan.
Sumber: prasetya.ub.ac.id
