Dua Dokter UB Pulang dari Gaza Bawa Inspirasi Kisah Hidup dan Nilai Sesungguhnya Kemanusiaan
Foto Dokter Kuntadi Sedang Melakukan Pembedahan Tulang pada Warga Palestina di Rumah Sakit--prasetya.ub.ac.id
LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID - Hampir tiga pekan menjalankan misi kemanusiaan di Gaza, Palestina, dua dokter dari Universitas Brawijaya (UB) kembali ke Indonesia dengan membawa lebih dari sekadar pengalaman medis.
Dua dokter itu, Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT, dan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp.M.N.(K), FIP membawa kisah yang bukan saja menginspirasi. Sekaligus, juga menyentuh kesadaran kita tentang arti sesungguhnya dari kemanusiaan.
Keduanya menyaksikan langsung realitas getir yang membalut tanah Palestina. Seperti kelaparan, kehancuran, trauma, juga ketegaran.
Pengalaman itu begitu membekas. Sekaligus menjadi sumber inspirasi saat keduanya kembali ke Tanah Air dan membagikan pengalaman yang menyentuh tersebut.
Setidaknya Bisa Jadi Penghibur
Dr. Kuntadi dan Dr. Ristiawan berangkat ke Gaza atas inisiatif sendiri pada awal Juli. Keduanya merasa didorong oleh kesadaran mendalam akan tanggung jawab moral sebagai tenaga medis. Mereka meyakini bahwa jika seseorang memiliki keahlian untuk menolong, maka diam bukanlah pilihan.
“Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Di Gaza, bahkan jika tidak bisa membantu secara medis, kehadiran pun bisa saja menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan.” terang Dr. Kuntadi.
Selama di Gaza, dua dosen Fakultas Kedokteran UB ini bertugas di Rumah Sakit Nasr dan Rumah Sakit Eropa, dua fasilitas medis yang masih beroperasi di tengah krisis kemanusiaan. Mereka tergabung dalam tim relawan bersama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berkoneksi dengan Rahmah Worldwide.
Pengalaman di Gaza ini menjadi titik emosional bagi Dr. Kuntadi, Ia mengungkapkan bahwa selama hampir 40 tahun menjadi dokter, belum pernah ia menyaksikan kondisi yang ia lihat di sana.
Anak-anak kecil tergeletak di lantai, tubuh mereka dipenuhi darah, bernapas tersengal-sengal tanpa perawatan layak, sementara asupan gizi nyaris tidak ada, karena tubuh mereka kekurangan protein. Dalam situasi serba terbatas itu, warga Gaza tetap bertahan dengan apa pun yang mereka punya.
Salah satu momen paling membekas baginya, adalah saat ia menangani seorang anak perempuan yang belum genap dua tahun. Anak itu terkena peluru dan bersimbah darah.
BACA JUGA:Pendidikan Jarak Jauh untuk SMP/SMA Mulai Diujicoba, Sasaran Awal Anak Pekerja Migran di Malaysia
Kondisi RS yang Memprihatinkan
Dr. Ristiawan turut menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza dengan penuh keprihatinan. Kapasitas ruang perawatan melonjak drastis hingga 250% dari kondisi normal. Bangunan fasilitas kesehatan banyak yang rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom.
Akibatnya, pasien terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat yang didirikan di sekitar rumah sakit. Dalam keterbatasan alat dan minimnya pasokan medis, mereka hanya menggunakan obat dan bius jenis lama yang tersedia.
“Obat kurang, air bersih terbatas, fasilitas rusak, dan risiko keamanan tinggi. Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya, bahkan menggunakan obat-obatan lama yang sudah jarang dipakai, tentu ini menjadi tantangannya,” ujar Dr. Ristiawan.
Sumber: prasetya.ub.ac.id
