1 tahun disway

Hari Migran 18 Desember, Kisah 33.000 Orang Jawa Dibawa Paksa Belanda ke Suriname, Kerinduan Membuncah

Hari Migran 18 Desember, Kisah 33.000 Orang Jawa Dibawa Paksa Belanda ke Suriname, Kerinduan Membuncah

Peringatan Hari Migran Internasional 18 Desember menjadi pengingat akan kontribusi besar para migran serta pentingnya perlindungan dan penghormatan terhadap hak Pekerja Migran Indonesia.-Freepik-

MALANG, DISWAYMALANG.ID--Setiap tanggal 18 Desember, dunia memperingati Hari Migran Internasional (International Migrants Day) sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran global terhadap kontribusi, peran, serta perlindungan hak-hak para Migran.

Peringatan ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyoroti dinamika migrasi internasional yang terus berkembang seiring perubahan sosial, ekonomi, dan geopolitik dunia.

BACA JUGA:Harga Kebutuhan Barang Pokok Relatif Stabil di Kota Batu

Dikutip dari situs resmi PBB, Hari Migran Internasional ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2000 melalui resolusi 55/93. Penetapan ini untuk memperingati Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarga Mereka pada tahun 1990.

Pada tanggal 14 dan 15 September 2006, 132 Negara Anggota yang berpartisipasi dalam Dialog Tingkat Tinggi tentang Migrasi Internasional dan Pembangunan. Acara yang diselenggarakan oleh Majelis Umum PBB ini menegaskan kembali sejumlah pesan utama.

Pertama, mereka menggarisbawahi bahwa migrasi internasional adalah fenomena yang berkembang dan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di negara asal dan negara tujuan asalkan didukung oleh kebijakan yang tepat.

Kedua, mereka menekankan bahwa penghormatan terhadap hak dan kebebasan mendasar semua migran sangat penting untuk memperoleh manfaat dari migrasi internasional. Ketiga, mereka mengakui pentingnya memperkuat kerja sama internasional tentang migrasi internasional secara bilateral, regional, dan global.

“My Great Story: Cultures and Development” adalah tema peringatan Hari Migran Internasional 2025. Tema ini menyoroti bagaimana mobilitas manusia mendorong pertumbuhan, memperkaya masyarakat, dan membantu komunitas untuk terhubung, beradaptasi, dan saling mendukung.

Sejarah Panjang Migrasi Indonesia

Bagi Indonesia, migrasi bukanlah fenomena baru. Sejarah migrasi Indonesia telah berlangsung sejak masa kolonial, ketika penduduk Nusantara direkrut sebagai tenaga kerja untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur di berbagai wilayah Hindia Belanda. Pada masa itu, mobilitas tenaga kerja kerap terjadi dalam kondisi yang tidak manusiawi dan minim perlindungan.

BACA JUGA:Bupati Malang Resmikan Madrasah Membatik di MTs Negeri 7 Malang

Memasuki era pascakemerdekaan, migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin meningkat, terutama sejak dekade 1970-an, seiring kebutuhan tenaga kerja di sektor domestik dan konstruksi di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Sejak saat itu, istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kini dikenal sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi bagian penting dari dinamika ketenagakerjaan nasional.

Pekerja Migran Indonesia berperan besar dalam menopang perekonomian nasional melalui remitansi yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Selain sebagai penyumbang devisa negara, PMI juga berkontribusi dalam transfer keterampilan dan pengetahuan yang dibawa kembali ke tanah air.

Meski demikian, sejarah migrasi Indonesia juga diwarnai berbagai persoalan, mulai dari penempatan nonprosedural, kekerasan terhadap pekerja, hingga kasus perdagangan manusia.

BACA JUGA:PUPR Kota Batu Benahi Jalan Berlubang untuk Keamanan-Kenyamanan Wisatawan Libur Nataru

Kisah 33.000 Orang Indonesia Migrasi ke Suriname

Sementara itu, kisah yang paling terkenal tentang migrasi orang Indonesia adalah ke Suriname. Ddidominasi oleh etnis Jawa yang datang sebagai buruh kontrak antara tahun 1890-1939. Diinisiasi Belanda untuk menggantikan budak di perkebunan tebu dan komoditas lain.

Ceritanya, Belanda membutuhkan tenaga kerja baru setelah perbudakan dihapus di Suriname pada 1863. Orang Jawa dianggap pekerja keras, gigih, dan patuh, sehingga dipilih untuk bekerja di perkebunan. Belanda juga melihat migrasi ini sebagai solusi untuk mengatasi kepadatan penduduk di Hindia Belanda (Indonesia).

Periode dan Jumlah Migrasi

  • Dimulai: 9 Agustus 1890, dengan kapal SS Koningin Emma.
  • Berakhir: 1939, terhenti karena Perang Dunia II.
  • Total: Sekitar 33.000 orang Jawa tiba di Suriname.

Kehidupan di Suriname

  • Pekerjaan: Bekerja di perkebunan tebu, kopi, dan kakao di bawah sistem kontrak yang keras.
  • Kondisi: Hidup sulit, upah rendah, dan rindu kampung halaman, namun mereka membangun komunitas mirip desa Jawa, masjid, dan pasar.
  • Adaptasi dan Pelestarian Budaya: Mempertahankan tradisi, seni, bahasa Jawa (dengan dialek khas), dan membentuk organisasi sosial.

Dampak dan Warisan

  • Komunitas Jawa: Keturunan mereka kini menjadi bagian integral masyarakat Suriname (sekitar 1.4% dari populasi), dikenal dengan sebutan "Orang Jawa Suriname".
  • Peran dalam Pembangunan: Berkontribusi dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik Suriname.
  • Perayaan: Setiap 9 Agustus diperingati sebagai Hari Migrasi Jawa ke Suriname

Orang Suriname Mudik ke Jawa Cari Leluhur

Banyak warga Suriname keturunan Jawa secara aktif mencari leluhur mereka di Jawa, Indonesia, didorong oleh kerinduan akan akar budaya dan keluarga. Sering dilakukan dengan mengunjungi desa asal, melacak dokumen sejarah di Arsip Nasional Suriname.

Pada tahun 2017, lima warga Suriname datang ke Jawa dalam program ‘Family Pilgrim’ dan berhasil bertemu langsung dengan keluarga mereka di berbagai daerah di Jawa, seperti Sleman, Yogyakarta. Reuni ini menjadi bukti kuat adanya ikatan darah yang masih tersambung meski terbentang jarak ribuan kilometer:

1. Kisah Ponidjo Kromotaroen

Ponidjo Kromotaroeno, seorang pensiunan polisi Suriname, yang sukses menemukan kerabatnya di Sleman.

2. Upaya Esther Mencari Moyang di Madiun

Seorang perempuan Suriname bernama Esther, yang moyangnya bernama Poredjo berasal dari Madiun, Jawa Timur, juga melakukan upaya pencarian akar leluhurnya. Kisahnya ini didokumentasikan dan menunjukkan keinginan kuat generasi muda Suriname untuk mengetahui asal-usul mereka

3. Kerinduan Legimin dan Semoedi

Ada juga kisah Legimin Wangsakrama dan Semoedi Soekiman, yang memendam kerinduan mendalam untuk bisa berkunjung ke tanah leluhur mereka di Jawa.

4. Pencarian Panjang Jakiem di Tanah Jawa


Jakiem Asmowidjoyo (66), warga kelahiran Suriname 1951 yang saat ini tinggal di Belanda. Pada April 2017, diaa mengaku sudah lima kali mencari keluarganya di tanah Jawa dan belum dia temukan. -detik.com. --

Jakiem Asmowidjoyo (66), warga kelahiran Suriname 1951 yang saat ini tinggal di Belanda. Dia mengaku sudah lima kali mencari keluarganya di tanah Jawa. Menurut cerita, buyut dari kakek berasal dari Nganjuk, sementara buyut dari nenek berasal dari Mojokerto. Tapi sudah berkali-kali dia mencari, keluarganya di tanah Jawa tak kunjung ketemu.

"Aku wes pernah ndek Nganjuk, tapi ngggoleki desone ora ketemu, gerbang desone wae wes gak ono (Saya sudah pernah ke Nganjuk, tapi mencari desanya tidak ketemu, gerbang desanya saja sudah tidak ada)," ujar pria yang kini berkewarganegaraan Belanda ini pada April 2017 lalu.

Menurut dia, kakek buyut dibawa ke Suriname tahun 1898 atau generasi awal orang Jawa tiba di Suriname. Dia juga melacak dengan mencari keluarga buyut dari nenek di Mojokerto, sesampainya di sana dia juga tidak mendapati keluarga buyutnya.

Namun dia tak patah arang, berdasarkan informasi yang didapat masih ada keluarganya yang tinggal di Blitar. Setelahnya dia mencoba mencari ke Blitar, tapi usahanya kembali tak membuahkan hasil.

"Sak iki keluargaku ndek Jowo wes ora ketemu, tapi sak iki wong-wong ndek perkumpulan dadi dulurku kabeh (Sekarang keluargaku di Tanah Jawa sudah tidak ketemu, tapi sekarang orang-orang di perkumpulan semuanya jadi saudaraku)," ujar pria yang juga Koordinator Group Jawa Suriname ndek Londo (di Belanda-red) ini.

Meski sudah tidak menjumpai keluarganya di Jawa, Jakiem mengaku setiap menginjakan laki di Jawa sudah seperti pulang di rumahnya sendiri. Sebab itu, dia tidak henti-hentinya mencari informasi sejarah tanah Jawa, baik lewat literatur maupun datang langsung ke Jawa.

"Yo ibarate ngumpulke balung pisah (ya ibaratnya mengumpulkan saudara yang terpisah)," pungkas Jakiem seusai berkunjung di Desa Gilangharjo, Bantul.

Kisah mereka sering dibagikan melalui media sosial dan platform video, menyoroti ikatan emosional yang kuat dengan tanah Jawa.

Upaya penemuan leluhur ini sering difasilitasi oleh organisasi budaya, komunitas, dan terkadang bantuan dari pemerintah daerah di Indonesia atau Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHIJ) di Suriname, yang menyimpan data-data imigran Jawa yang tiba antara tahun 1890-1939.

Upaya Perlindungan dan Tantangan ke Depan

Kembali ke Hari Migrasi Internasional, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia terus memperkuat sistem perlindungan pekerja migran melalui pembaruan regulasi, peningkatan pelayanan penempatan, serta kerja sama bilateral dengan negara tujuan. Pendekatan migrasi aman, tertib, dan bermartabat menjadi fokus utama untuk memastikan hak-hak PMI terpenuhi sejak pra-penempatan, masa kerja, hingga purna penempatan.

Peringatan Hari Migran Internasional juga menjadi ajakan kepada masyarakat luas untuk mengubah cara pandang terhadap migran, bukan sekadar sebagai tenaga kerja. Tetapi sebagai individu yang memiliki martabat, hak, dan kontribusi nyata bagi pembangunan. Di tengah tantangan global seperti konflik, perubahan iklim, dan ketimpangan ekonomi, isu migrasi diperkirakan akan terus menjadi agenda penting dunia.

BACA JUGA:Haul Pendiri NU KHR Asnawi, Rais Aam PBNU Ajak Masyarakat Meneladani

Melalui momentum Hari Migran Internasional 18 Desember, diharapkan terbangun komitmen bersamabaik pemerintah, masyarakat, maupun komunitas internasionaluntuk menciptakan sistem migrasi yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan, sekaligus menghargai perjalanan panjang migrasi Indonesia sebagai bagian dari sejarah bangsa.

Sumber: pbb