27 Mei World Marketing Day, dari Pasar Romawi ke Era TikTok, dari Teriak Murah Murah ke FYP!
Marketing dan Jejaknya di Dunia-pinterest-
Masuk abad ke-20. Produksi makin lancar. Barang makin banyak. Tapi… siapa yang mau beli?
Di sinilah mulai dikenal era sales orientation. Fokus perusahaan mulai bergeser dari sekadar produksi ke teknik menjual. Promosi mulai menggeliat. Poster, radio, bahkan juru bicara keliling muncul. Brosur dicetak. Billboard dipasang. Para sales mulai keliling rumah ke rumah.
Iklan mulai berbicara, bukan hanya menawarkan barang tapi membangun citra. Brand muncul. Dan penjualan jadi seni. Tapi tetap, marketing belum jadi aktor utama. Masih hanya perpanjangan tangan bagian penjualan. Fokusnya: bagaimana barang yang sudah dibuat bisa terpaksa dibeli. Produk jadi raja. Konsumen sekadar target.
4. Tahun 60-an: Konsumen Diangkat Jadi Raja
Era 1960-an jadi titik balik besar. Pasar mulai jenuh. Produksi sudah bukan tantangan. Tantangannya sekarang adalah: “Bagaimana memahami apa yang diinginkan konsumen?”
Inilah lahirnya marketing orientation. Pendekatan yang bukan lagi soal ‘menjual apa yang diproduksi’, tapi ‘memproduksi apa yang dibutuhkan’. Konsumen mulai dianggap raja. Bukan hanya objek iklan, tapi subjek strategi.
Penelitian pasar mulai marak. Survei, kuisioner, dan fokus grup digunakan. Konsumen diajak bicara. Perusahaan mulai bertanya sebelum membuat produk, bukan sesudah. Marketing masuk ke dapur strategi. Menentukan harga, target pasar, positioning, hingga promosi. Lahirlah istilah 4P: Product, Price, Place, Promotion.
5. Marketing Modern: Bicara Data, Rasa, dan Merek
Hari ini, marketing bukan cuma soal iklan. Tapi soal data. Soal user experience. Soal makna yang tertanam di sebuah merek. Soal bagaimana konsumen merasa menjadi bagian dari brand itu sendiri.
Brand sekarang bukan hanya logo. Tapi cerita. Apple bukan cuma pembuat gawai, tapi simbol lifestyle. Nike bukan sekadar sepatu, tapi semangat. Starbucks bukan cuma kopi, tapi "tempat ketiga" setelah rumah dan kantor. Marketing bukan lagi transaksi satu arah, tapi hubungan dua arah yang dijaga terus-menerus.
Marketer kini bukan cuma penjual. Tapi juga pendongeng. Mereka meramu narasi, emosi, dan angka ke dalam satu strategi yang bisa memengaruhi cara pikir dan gaya hidup. Bahkan seluruh karyawan, dari OB sampai direktur, harus tahu nilai brand yang dijual. Karena semua adalah bagian dari proses marketing. Semuanya tentang menyampaikan makna.
6. Bukan Ilmu Tua, Tapi Pengaruhnya Menggurita
Marketing modern masih tergolong muda. Usianya belum 100 tahun. Tapi pengaruhnya luar biasa. Lihat saja jurusan marketing yang kini laris di kampus. Atau agensi digital yang menjamur. Bahkan politisi pun tak lepas dari strategi marketing personal.
Brand politik sekarang harus punya positioning. Harus relatable. Harus punya tagline. Bahkan gerakan sosial pun sering menggunakan strategi kampanye yang sangat mirip dengan peluncuran produk. Semua pesan kini dibungkus dalam gaya komunikasi pemasaran.
Tantangan ke depan adalah mendemokratisasi marketing agar bisa dipahami oleh semua pelaku usaha, bukan cuma korporasi besar. Marketing yang inklusif, bukan eksklusif.
Sumber: bournemouth university
