25 Maret, Hari Waffle Internasional: Ini 9 Hal yang Kamu Harus Tahu Seputar Bisnis Wafel

Waffle-pinterest-
MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Selamat hari wafel internasional! Tahukah kamu, dulu wafel identik dengan jajanan mewah khas Eropa? Makanan ini juga sering muncul di film-film Hollywood dengan tampilan menggiurkan: tekstur renyah di luar, lembut di dalam, dengan siraman sirup maple dan taburan buah segar.
Sekarang? Wafel bisa ditemui di mana-mana, dari gerobak kaki lima di pinggir jalan hingga kafe premium di mal besar.
Di Jakarta, misalnya, banyak pedagang kaki lima menjual wafel manis dengan topping cokelat atau keju di harga Rp10.000-an. Sementara itu, di kafe seperti Union atau Common Grounds, wafel dibanderol hingga Rp80.000 dengan topping gelato dan saus karamel buatan sendiri.
Dengan berbagai varian dan model bisnis, wafel mampu menarik berbagai segmen pasar. Ada yang menjualnya dengan harga murah dan mengandalkan volume penjualan, ada pula yang menargetkan konsumen kelas atas dengan inovasi rasa dan tampilan premium.
Pertanyaannya, bagaimana memilih model bisnis yang tepat? Apakah bisnis wafel masih menjanjikan di tengah persaingan kuliner yang semakin ketat? Mari kulik lebih dalam!
1. Wafel: Jajanan Yang Menjanjikan
Selain harga, daya tarik utama wafel kaki lima adalah kecepatan saji. Pembeli bisa mendapatkan wafel dalam waktu kurang dari 5 menit, sehingga cocok untuk yang ingin camilan cepat. Beberapa pedagang bahkan sudah mulai berinovasi dengan menawarkan wafel berbentuk unik seperti karakter kartun atau menggunakan warna-warna cerah yang menarik perhatian pembeli muda.
2. Wafel di Kafe: Jualan Rasa dan Estetika
Di kafe, wafel bukan cuma soal rasa, tapi juga pengalaman. Topping fancy seperti gelato, buah segar, dan sirup premium bikin harga melambung jadi Rp50.000-Rp100.000. Misalnya, di kafe Social House, wafel disajikan dengan es krim pistachio dan saus raspberry, menciptakan perpaduan rasa yang unik. Meski lebih mahal, pelanggan rela membayar lebih untuk menikmati hidangan yang Instagramable.
Selain itu, tren brunch di kalangan anak muda membuat wafel semakin populer sebagai menu sarapan mewah. Banyak kafe menawarkan menu “Waffle & Coffee” sebagai paket, misalnya di Tanamera Coffee, di mana wafel khas mereka disajikan dengan espresso shot sebagai pelengkap. Dengan pendekatan ini, bisnis kafe bisa meningkatkan rata-rata transaksi pelanggan.
3. Croffle: Tren yang Masih Bertahan
Croffle (croissant waffle) sempat viral di media sosial, terutama setelah diperkenalkan oleh merek seperti Baker’s Bench pada tahun 2017. Kini, makin banyak kompetitor seperti Dear Butter masih mempertahankan popularitasnya dengan varian rasa baru, seperti croffle matcha.
Jika kamu ingin mencoba bisnis ini dan ingin bertahan, haruslah punya diferensiasi: croffle premium dengan filling melimpah atau varian asin seperti croffle tuna-mayo yang cocok untuk konsumen yang bosan dengan rasa manis.
4. Franchise Wafel: Untung atau Boncos?
Banyak brand menawarkan paket franchise mulai dari Rp5 juta hingga Rp200 juta. Yang murah biasanya gerobakan, sementara yang mahal bisa berbentuk kafe. Brand seperti Eggo Waffle bisa mencapai Rp150 juta dengan konsep kafe mini.
Keuntungan franchise adalah nama brand sudah dikenal, jadi lebih mudah dapat pelanggan. Tantangan? Biaya royalti dan persaingan sesama franchisee.
5. Wafel Homemade: Bisnis Rumahan yang Fleksibel
Jika tertarik untuk memulai bisnis wafel kecil dulu dari rumah, modalnya kecil, cukup waffle maker dan bahan baku. Pemain bisnis ini mengandalkan strategi pre-order dan pemasaran via media sosial.
Keunggulan bisnis ini adalah fleksibilitas. Tanpa sewa tempat, biaya operasional bisa ditekan. Namun, tantangannya ada di konsistensi kualitas dan kemampuan pemasaran. Bisnis ini sangat bergantung pada branding di media sosial dan loyalitas pelanggan.
Sumber: wpbn