Santunan Anak Yatim Piatu: Antara Kepedulian, Eksploitasi, dan Etika Kemanusiaan

Santunan Anak Yatim Piatu: Antara Kepedulian, Eksploitasi, dan Etika Kemanusiaan

Ilustrasi AI: Santunan Anak Yatim Piatu--istimewa

Perihal "Santunan kepada Anak Yatim Piatu", selama ini kita sudah banyak belajar baik dari orang tua kita dulu, berdasarkan Al-Qur'an, hingga Hadits, atau bahkan mendapat pemahaman dari guru ngaji atau alim ulama. 

Dalam ceramah ataupun forum kajian yang sering kita tonton di televisi ataupun media visual lainnya, sudah banyak ulama modern menegaskan bahwa santunan yang ideal adalah yang bersifat empowerment (pemberdayaan), bukan sekadar charity (amal sesaat).

Untuk memberikan santunan anak yatim yang benar, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 

1. Memberikan santunan dengan niat tulus untuk menghindari riya’ dan kepentingan pencitraan. 

2. Menggunakan mekanisme yang beretika, pastikan anak-anak merasa nyaman jika dokumentasi dilakukan. 

3. Fokus pada kesejahteraan jangka panjang, seperti bantuan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan bimbingan mental, daripada hanya memberikan uang. 

4. Salurkan bantuan melalui lembaga resmi dan terpercaya untuk memastikan transparansi. 

5. Terakhir, pastikan tindakan kita bermartabat, dengan tidak memperlakukan anak yatim sebagai objek amal semata, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang harus dihormati.

Pemberian santunan kepada anak yatim piatu harus dilakukan dengan kesadaran, komitmen jangka panjang, dan niat tulus. Kepedulian terhadap mereka sebaiknya berlangsung sepanjang tahun, bukan hanya saat Ramadan.

Menghentikan eksploitasi anak yatim untuk pencitraan dan seremonial penting untuk membangun masyarakat yang bermoral. Anak yatim piatu seharusnya diberdayakan, bukan hanya diberi belas kasihan, agar mereka tumbuh mandiri dan mampu memberikan manfaat di masa depan.

*Opini: Ancha - Penulis Narasi, Fotografer

Sumber: