Serial Terbaru Netflix "Adolescence" Soroti Bahaya Media Sosial Pada Remaja Era Sekarang, Worth to Watch!

Serial Netflix Adolescence-The Guardian-
MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Serial terbaru Netflix, Adolescence, Di tengah gempuran konten viral dan tekanan eksistensi di dunia maya, serial terbaru Adolescence hadir untuk membuka mata soal sisi gelap media sosial bagi remaja. Terbukti, serial ini langsung menempati posisi Top 10 di Netflix.
Dengan alur yang realistis dan karakter yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, serial ini mengupas bagaimana platform digital bisa menjadi pisau bermata dua—membangun sekaligus menghancurkan mental anak muda.
Dibintangi oleh sejumlah aktor muda berbakat, Adolescence menyajikan cerita yang menggugah tentang kecanduan media sosial, cyberbullying, hingga tekanan untuk tampil sempurna di dunia maya. Serial ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penonton untuk lebih kritis dalam menggunakan media sosial di era digital yang semakin tak terbendung.
1. Inspirasi dari Kisah Nyata
Aktor kawakan Stephen Graham adalah sosok di balik ide awal serial ini. Terinspirasi dari berbagai kasus kejahatan remaja di Inggris, Graham tergerak oleh peristiwa seperti kekerasan pada Ava White (12) oleh bocah laki-laki 14 tahun di Liverpool pada 2021, serta kasus Elianne Andam (15) yang ditikam di Croydon pada 2023. Graham lalu menggandeng Jack Thorne, penulis naskah berbakat, untuk menciptakan drama yang mengupas tuntas akar kasus pengaruh media sosial yang dilakukan remaja laki-laki terhadap perempuan.
2. Remaja dan Internet
Serial empat episode ini mengikuti kisah keluarga Miller, yang hidupnya jungkir balik setelah putra mereka, Jamie (13), ditangkap dalam penggerebekan subuh karena membunuh teman sekolahnya, Katie. Sekilas, Adolescence memang cerita tentang maraknya kejahatan pisau di Inggris. Tapi lebih dalam lagi, ini adalah kisah tentang bagaimana media sosial, cyberbullying, dan tekanan maskulinitas beracun membentuk remaja laki-laki di era digital.
3. Statistik yang Mengkhawatirkan
Serial ini terinspirasi dari statistik jumlah remaja yang tewas akibat serangan senjata tajam naik 240%. Fenomena ini bukan sekadar angka, melainkan alarm bahaya yang terus berdengung di kepala para orang tua, guru, dan aparat hukum. Kejahatan yang dilakukan remaja bukan hanya masalah individu, tetapi juga refleksi dari lingkungan sosial dan teknologi yang membentuk mereka.
4. Akting yang Menggigit
Stephen Graham, yang berperan sebagai Eddie, ayah Jamie, tampil cemerlang. Dari pria yang awalnya yakin putranya tak bersalah, hingga akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Ashley Walters, sebagai detektif Luke Bascombe, juga menampilkan performa luar biasa—padahal ia sempat berpikir untuk pensiun dari dunia akting.
Tapi bintang sesungguhnya adalah Owen Cooper, sang pemeran Jamie. Dalam debutnya, ia memancarkan transisi emosional yang tajam: dari bocah biasa, menjadi remaja yang penuh amarah dan kehilangan arah, menggambarkan kerasnya pengaruh media sosial yang dapat mengubah seorang remaja polos.
5. Sinematografi yang Menegangkan
Disutradarai oleh Philip Barantini, serial ini juga bermain dengan teknik sinematografi tanpa potongan (one-shot). Gaya ini pernah ia pakai di film Boiling Point, dan di Adolescence, hasilnya adalah intensitas yang begitu dekat dan menghantam penonton secara emosional. Teknik ini membuat setiap adegan terasa mentah, nyata, dan menegangkan.
Sumber: the guardian