Hari Perempuan Internasional Hari Ini, Moment Refleksi Realita Kekerasan Seksual

Hari Perempuan Internasional Hari Ini, Moment Refleksi Realita Kekerasan Seksual

-pinterest - Vecteezy-

ILO / International Labour Organization (2024) mencatat bahwa lebih dari 60 persen perempuan di dunia kerja pernah mengalami pelecehan seksual. Namun, hanya 10 persen kasus yang dilaporkan, karena korban takut kehilangan pekerjaan atau menghadapi pembalasan dari atasan.

Tanpa lingkungan kerja yang aman, perempuan tidak bisa berkembang dalam karier mereka. Ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merugikan perekonomian global yang kehilangan potensi besar dari tenaga kerja perempuan.

Kalau tidak nyaman, bukan perempuan yang harusnya resign, tetapi tempat kerjanya yang harus re-evaluasi.

6. Dampak Kekerasan Seksual pada Kesehatan Mental dan Fisik

WHO (2024) mencatat bahwa korban kekerasan seksual memiliki risiko 3 kali lebih tinggi mengalami depresi, stres pasca-trauma (PTSD), gangguan kecemasan, hingga kecenderungan bunuh diri. Selain itu, korban juga mengalami gangguan fisik seperti sakit kepala kronis dan tekanan darah tinggi akibat stres yang berlarut-larut.

Karena kekerasan seksual merusak kehidupan korban, baik secara fisik maupun mental. Tanpa dukungan yang cukup, korban kehilangan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Ini adalah ancaman serius, bukan "lebay" .

7. Sistem Hukum yang Masih Tidak Berpihak pada Korban

UN Women (2024) melaporkan bahwa hanya 10 persen kasus kekerasan seksual yang berujung pada hukuman bagi pelaku. Di Indonesia, LPSK / Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mencatat bahwa hanya 20 persen kasus yang berhasil diproses hukum hingga vonis.

Tanpa sistem hukum yang berpihak pada korban, pelaku akan terus merasa kebal hukum, dan korban akan terus takut untuk berbicara.

Kalau korban tidak bisa memberikan bukti, bukan berarti ia berbohong.

8. Media yang Masih Menormalisasi Kekerasan Seksual

Global Media Monitoring Project (2024) menemukan bahwa hanya 20 persen berita tentang kekerasan seksual yang benar-benar fokus pada korban, sementara sisanya justru cenderung tidak memberikan perhatian kepada korban atau takut mengangkat isu kekerasan seksual.

Cara media membingkai isu ini akan mempengaruhi bagaimana masyarakat melihat korban dan pelaku. Jika media terus melanggengkan narasi yang salah, kekerasan seksual akan terus dianggap sebagai hal yang lumrah.

Korban sudah cukup dirugikan oleh pelaku, media tidak perlu menambah kesengsaraannya.

9. Kurangnya Pendidikan Seksual yang Komprehensif

Riset Durex Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 84 persen remaja berusia 12-17 tahun belum mendapatkan edukasi seks. Selain itu, data Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 20.783 kasus infeksi sifilis di tahun 2022, 63 persen di antaranya terjadi pada pasien usia 25-49 tahun. Kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif membuat remaja dan orang dewasa rentan terhadap kekerasan seksual dan penyakit menular seksual.

Karena tanpa pendidikan yang benar, generasi muda akan terus mengulang pola yang sama. Mereka tidak hanya berisiko menjadi korban, tetapi juga bisa tumbuh menjadi pelaku tanpa sadar.

"Tapi ya, pendidikan seksual kan tabu dan hanya akan ‘mengajarkan hal yang tidak-tidak’ kepada anak-anak."

Sumber: world health organization (who)