JAKARTA, DISWAYMALANG.ID–Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan pentingnya pemenuhan syarat sah nikah secara agama dan pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menghindari kemudaratan. Hal itu disampaikan menyusul viralnya unggahan video TikTok baru-baru ini yang menawarkan jasa pernikahan siri secara terang-terangan.
Pernikahan siri yang tidak memenuhi syarat-syarat agama yang sah, kata Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, dapat berujung pada keharaman dan menimbulkan dampak negatif. Untuk itu, Anwar Abbas wanti-wanti beberapa hal terkait hal tersebut.
1. Pentingnya Syarat Sah Agama
- Menurut Anwar Abbas, praktik nikah siri sah secara agama Islam, asalkan seluruh rukun dan syarat pernikahan terpenuhi. Seperti adanya calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan ijab kabul.
2. Imbauan Pencatatan Resmi
- Namun, Anwar Abbas sangat menganjurkan agar setiap pernikahan, termasuk nikah siri, dicatatkan secara resmi di KUA. Pencatatan ini penting untuk menghindari masalah di kemudian hari dan memberikan kepastian hukum.
3. Potensi Prostitusi Terselubung
- Lebih jauh, munculnya penawaran jasa nikah siri yang dikomersialkan di media sosial dinilai sangat rawan berpotensi menjadi prostitusi terselubung dan penipuan.
"Makanya itu akan sangat merugikan kepada pihak perempuan. Jadi sebaiknya itu dihindari. Dan di situ rawan juga terjadi penipuan. Karena kalau yang sudah terkait komersial itu sering kali itu merupakan prostitusi terselubung, itu juga berbahaya," ujar Anwar Abbas, Senin 24 November 2025.
Kerugian Besar bagi Perempuan dan Pelanggaran UU
Sejalan dengan MUI, Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menyuarakan keprihatinan yang sama.
1. Kerugian Pihak Perempuan
- Ketua PBNU Bidang Keagamaan Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), menekankan bahwa pihak perempuan adalah yang paling dirugikan dalam praktik nikah siri karena tidak adanya kepastian hukum terkait hak-hak seperti nafkah, warisan, dan status anak.
2. Melanggar UU Perkawinan
- Nikah siri, yang tidak tercatat di negara, juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (telah diperbarui dengan UU No. 16 Tahun 2019), yang mewajibkan setiap pernikahan dicatatkan.