LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID--Berkat meneliti fenomena sound horeg atau sound system berdaya tinggi, tiga mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB) sukses meraih prestasi membanggakan.
Tiga mahasiswa itu, yakni Ibnus Shabil (angkatan 2023), Fitriani (2023), dan Rifan Romadhoni (2024) meraih gelar juara tiga dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) Nasional SAKTI 2025.
Kompetisi yang diselenggarakan oleh FIB UB ini berlangsung sejak (7/5/2025), dan ditutup dengan pengumuman pemenang pada pertengahan Juni lalu.
Ibnus Shabil dan kawan-kawan berhasil unggul dengan mengusung karya tulis ilmiah berjudul “Peran Mahasiswa dalam Mediasi Konflik Budaya dan Gangguan Publik terhadap Sound Horeg sebagai Upaya Pembangunan Inklusif di Jawa Timur”.
Topik tersebut diangkat sebagai respons terhadap polemik yang makin sering terjadi di masyarakat Jawa Timur. Khususnya terkait penggunaan sound horeg dalam berbagai acara tradisional dan hiburan lokal yang kerap memicu gangguan kenyamanan publik.
Dalam karya tersebut, tim menganalisis secara menyeluruh akar konflik yang muncul akibat benturan antara hak atas ekspresi budaya sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dibandingkan dengan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan nyaman yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan intensitas suara yang sering melebihi ambang batas 85 desibel, sound horeg dinilai tidak hanya berdampak pada gangguan kesehatan seperti stres dan gangguan pendengaran, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial, kerusakan properti, hingga kerugian ekonomi.
BACA JUGA:Polres Malang Gelar Upacara Hari Bhayangkara di Halaman Pendapa Kabupaten, Dipimpin Kapolres, Dihadiri Bupati
Ilustrasi sound horeg--disway.id
Mahasiswa sebagai Aktor Mediasi
Karya tulis ini menekankan pentingnya kehadiran mahasiswa sebagai aktor strategis dalam proses mediasi konflik sosial budaya. Mahasiswa, menurut tim penulis, memiliki posisi netral yang memungkinkan mereka menjembatani kepentingan pelaku budaya dengan masyarakat yang terdampak melalui pendekatan partisipatif, edukatif, dan advokatif.
Ketua Tim Ibnus Shabil menjelaskan, mereka ingin karya ini tidak hanya menjadi wacana akademik. Tetapi juga menjadi kontribusi nyata bagi penyelesaian persoalan masyarakat.
“Kami tidak ingin sekadar menulis untuk lomba. Sejak awal kami sepakat bahwa tulisan ini harus berangkat dari keresahan nyata dan memiliki dampak di lapangan,” ungkap Ibnus.
Menurutnya, fenomena sound horeg tidak hanya soal musik atau hiburan. Di baliknya ada banyak suara yang tak terdengar, suara ibu-ibu yang tidak bisa tidur karena bising, suara anak-anak yang belajar di tengah gangguan, dan suara warga yang rindu hidup tenang.
Di sisi lain, ada pula suara para pelaku budaya yang merasa kehilangan ruang untuk mengekspresikan identitasnya.
Lebih lanjut, Ibnus menyampaikan bahwa mahasiswa punya potensi besar sebagai mediator karena berada di posisi tengah yang cukup strategis. Ia menjelaskan bahwa peran mahasiswa tidak hanya sebatas agen perubahan, tetapi juga sebagai penengah yang memahami perspektif berbagai pihak.