MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI), membawa perubahan besar dalam cara manusia beraktivitas.
Dengan kecanggihan AI, banyak pekerjaan kini dapat diselesaikan lebih cepat, lebih akurat, dan dengan efisiensi tinggi.
Berbagai perusahaan bahkan berlomba-lomba mendorong karyawannya memanfaatkan teknologi ini demi mendongkrak produktivitas.
Namun di balik keunggulannya, penggunaan AI juga memunculkan kekhawatiran serius, terutama soal dampaknya terhadap lingkungan dan ketahanan lapangan kerja.
Survei Populix yang dikutip dalam GoodStats pada 2024 mengungkapkan bahwa 60 persen masyarakat Indonesia mengaku cemas terhadap ancaman AI, baik dalam bentuk keamanan data maupun berkurangnya kesempatan kerja.
World Economic Forum (WEF) bahkan memprediksi bahwa profesi seperti insinyur perangkat lunak, analis data, jurnalis, kreator konten, desainer grafis, hingga tenaga pendidik, berpotensi terdampak secara signifikan akibat adopsi AI.
Ancaman ini tidak hanya terbatas pada sektor ketenagakerjaan. Dari sisi ekologi, penggunaan AI ternyata menyumbang peningkatan emisi karbon secara global.
Laporan Google Environmental Report 2024 mencatat emisi gas rumah kaca Google mencapai 14,3 juta ton setara CO₂ pada 2023 melonjak 48 persem dibandingkan tahun sebelumnya sebagian besar disumbang oleh pusat data dan rantai pasok yang menunjang layanan berbasis AI.
Kebutuhan energi yang melonjak drastis untuk mengoperasikan sistem AI juga menjadi sorotan.
Penelitian Alex de Fries menunjukkan, penggunaan listrik untuk satu permintaan ChatGPT mencapai 2,9 Wh, jauh lebih besar dibandingkan satu pencarian Google yang hanya membutuhkan 0,2 Wh.
Meski demikian, AI tetap menawarkan peluang ekonomi besar. Menurut International Monetary Fund (IMF), penerapan AI dapat meningkatkan output ekonomi global sebesar 0,5 perden setiap tahun antara 2025 hingga 2030.
Sayangnya, pertumbuhan ini juga disertai prediksi kenaikan kebutuhan listrik hingga tiga kali lipat, setara dengan konsumsi energi India saat ini, serta potensi peningkatan emisi global hingga 1,2 persen pada 2030.
United Nations Environment Programme (UNEP) memperingatkan bahwa dominasi penggunaan bahan bakar fosil dalam pusat data AI berpotensi memperburuk pemanasan global.
Sementara itu, dikutip dari GoodStats, Grantham Research Institute juga menyebutkan bahwa AI juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi, jika dimanfaatkan dengan bijak untuk mendukung inovasi teknologi rendah karbon di bidang energi, pangan, dan transportasi.
Pada akhirnya, keberlanjutan masa depan AI akan bergantung pada pilihan manusia: apakah akan memanfaatkannya sebagai alat mendorong perubahan positif, atau membiarkannya menjadi penyumbang baru kerusakan lingkungan.