JAKARTA, DISWAYMALANG.ID--Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai bisa memberi manfaat lain selain untuk menyediakan makanan bergizi bag anak. Yakni, bisa juga menjadi sarana edukasi bagi masyarakat mengenai pola makan yang lebih baik.
Ahli gizi masyarakat Dr. dr. Tan Shot Yen, M.Hum, dalam konferensi pers daring PB IDI pada 8 Januari 2025, mengungkapkan bahwa 96 persen penduduk Indonesia masih mengonsumsi makanan yang berisiko tinggi..Seperti makanan manis, asin, berlemak, berkolesterol tinggi, serta makanan olahan yang mengandung pengawet dan bumbu penyedap.
Pendapat itu juga merujuk.ke hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang menunjukkan hasil sama soal kebiasaan kurang tepat anak-anak dalam memilih makanan. Antara lain tidak memilih makanan sehat karena dianggap rasanya hambar.
"Penting bagi kita untuk menyampaikan kepada anak-anak bahwa makanan sehat tidak selalu berarti hambar atau tidak enak," kata Dr. Tan Yot Shen.
Perilaku anak-anak memilih-milih makanan yang menutamakan selera itulah yang disebut sebagai picky eating.
Ia menyoroti bahwa banyak anak kini mulai meninggalkan makanan khas daerahnya. Seperti anak-anak Papua yang mulai enggan mengonsumsi sagu atau papeda. Antara lain, karena menganggap makanan khas hambar.
"(Padahal) Banyak makanan tradisional seperti soto Boyolali dan soto Kudus yang memiliki cita rasa lezat tanpa harus menggunakan bumbu penyedap berlebihan," jelas Tan.
Selain faktor budaya, penurunan minat anak terhadap makanan sehat juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan seperti gigi karies dan anemia. Serta cara pengolahan makanan yang tidak sesuai dengan kebiasaan anak di rumah. Akibatnya, banyak anak yang cenderung memilih makanan instan atau makanan cepat saji yang lebih familiar bagi mereka.
Peran Ahli Gizi
Merujuk ke masalah di atas, Tan berpendapat, bahwa peran ahli gizi sangat penting dalam program MBG. Yakni, untuk menentukan menu makanan yang tetap sehat namun dapat diterima oleh anak-anak.
"Kita tidak bisa hanya mengikuti keinginan anak, nanti hasilnya hanya bakso dan cireng saja. Jika anak tidak suka sayur, maka harus ada strategi yang lebih baik daripada sekadar mengubah sayur menjadi keripik agar terasa lebih renyah," jelasnya.
BACA JUGA:Dinkes Pastikan Menu Program MBG Kota Malang Sudah Penuhi Standar Gizi
Menurut Tan, sayuran tidak selalu berupa sayur berdaun. Sayuran seperti ketimun dan tomat ceri juga bisa menjadi alternatif yang lebih disukai anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi ahli gizi untuk mencari cara agar anak tetap mau mengonsumsi sayur tanpa merasa dipaksa.
Ia juga menyoroti kebiasaan orang tua dalam memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang terkadang terpengaruh oleh tren di media sosial. "Banyak ibu yang mengikuti tren membuat banana pancake, padahal pisang barongko dari Bugis juga merupakan makanan sehat dan lezat," tambahnya.
Peran Pemerintah dan Masyarakat