Foto di Era Digital: Ketika Etika, Privasi, dan Perspektif Bertemu di Ruang Publik
fotografer--getty images
MALANGRAYA, DISWAYMALANG.ID--Fotografi tidak lagi sekadar seni menangkap momen. Di era digital, setiap jepretan bisa menjadi bahan konflik antara kebebasan berekspresi dan privasi, antara kreativitas dan hukum, hingga antara keaslian visual dan teknologi manipulatif.
Perkembangan pesat media sosial dan kecerdasan buatan menjadikan fotografi sebagai ranah yang rumit, penuh peluang, tetapi juga penuh persoalan etis.
Ketegangan ini terasa di banyak ruang publik termasuk perdebatan hangat antara fotografer dan pelari yang belakangan muncul di berbagai komunitas hobi. Isunya tampak sederhana seperti bolehkah memotret orang di ruang publik tanpa izin? Namun dampaknya meluas ke ranah moral, hukum, dan budaya visual kita hari ini.
Etika Ruang Publik
Sebuah kajian dalam literatur jurnalisme foto menegaskan bahwa fotografer, termasuk jurnalis, wajib menjaga kejujuran visual, menghindari distorsi, serta memastikan potret manusia tidak merendahkan martabat subjek.
Dalam konteks street photography, dilema privasi menjadi semakin kompleks. Foto candid bisa memiliki nilai artistik, namun foto orang tanpa izin yang kemudian dipublikasikan ke media sosial atau dipakai secara komersial dapat menimbulkan rasa tidak nyaman hingga pelanggaran etika.
Fenomena ini menjadi relevan di banyak aktivitas komunitas mulai dari olahraga, konvoi kendaraan, hingga kegiatan keluarga di ruang publik. Meski hukum memperbolehkan pemotretan di area publik, etika sosial seharusnya berjalan seiring dengan legalitas seperti menghormati privasi, meminta izin ketika memungkinkan, dan memberikan ruang aman bagi subjek foto.
Hak Cipta dan Kepemilikan Foto
Regulasi seperti Undang‑Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menetapkan bahwa foto adalah karya cipta yang otomatis terlindungi hak moral dan hak ekonomi melekat pada fotografer sebagai pencipta.
Namun realitas di lapangan jauh dari ideal. Studi di Indonesia menunjukkan pelanggaran hak cipta foto di media daring masih sangat tinggi, terutama penggunaan foto tanpa izin dan tanpa mencantumkan kredit.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa apabila foto yang diambil dari ruang publik kemudian digunakan untuk tujuan komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang dalam foto atau fotografer, maka bisa dianggap sebagai pelanggaran.
Dengan demikian, penting bagi publik, penyedia layanan, dan fotografer untuk memahami bahwa foto bukan “barang bebas”. Ada hak dan batasannya sehingga pelanggaran dapat membawa konsekuensi hukum.
Manipulasi Digital dan Deepfake
Seiring kemajuan teknologi, batas antara foto dokumenter dan gambar hasil rekayasa semakin kabur. Deepfake, AI image generation, dan editing tingkat lanjut membuka peluang kreatif yang juga membawa risiko serius.
BACA JUGA:ChatGPT vs Gemini, Adu Cerdas di Era AI Modern
Studi internasional menunjukkan bahwa dataset visual yang digunakan untuk mengembangkan teknologi AI kerap memuat foto manusia tanpa izin, yang kemudian digunakan ulang oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemilik. Ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga menciptakan rantai distribusi gambar yang tidak dapat dikontrol.
Manipulasi foto yang merugikan reputasi seseorang pun telah masuk ranah pidana terutama jika gambar diedit untuk tujuan fitnah. Hal ini mempertegas pentingnya keaslian visual dan tanggung jawab bagi siapa pun yang menggunakan foto.
Di ranah jurnalistik, manipulasi visual adalah ancaman serius bagi kredibilitas media. Foto yang dipoles terlalu jauh bisa menyesatkan publik, merusak prinsip dasar dokumentasi, dan menciptakan bias visual.
Sudut Pandang Pelari
Untuk melengkapi diskusi etika dan hukum, penting juga menghadirkan pengalaman dari subjek yang difoto bukan hanya dari sisi fotografer.
Menurut Robert seorang pelari amatir yang kerap ikut acara lari di ruang kota, ia merasa senang ketika difoto saat berlari.
“Saya justru senang dengan adanya fotografer karena hasil fotonya keren, bagus, dan membuat saya ingin membelinya,” ujarnya. Ia juga mengatakan bahwa harga fotonya bisa dinego sehingga terasa fleksibel dan terjangkau. Selain itu, Robert menekankan bahwa tidak ada paksaan dari fotografer untuk membeli foto tersebut sehingga pilihan untuk membeli tetap atas dirinya.
Pengalaman seperti Robert menunjukkan sisi lain dari fenomena fotografi di ruang publik bahwa bagi sebagian orang, foto adalah kenang-kenangan, bukti momen, atau bagian dari identitas sebagai pelari. Ini menegaskan bahwa tidak semua interaksi foto subjek berkonotasi negatif tergantung konteks, persetujuan, dan kenyamanan.
Dengan memasukkan sudut pandang pelari, kita memberi warna manusia pada isu ini bahwa sebaiknya diskusi tentang etika fotografi juga mempertimbangkan perspektif subjek apakah mereka nyaman, setuju, dan punya pilihan.
Kebijakan dan Pernyataan Resmi
Beberapa waktu lalu Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menanggapi hal tersebut dan menegaskan bahwa kegiatan memotret di ruang publik tetap diizinkan dengan syarat menolak praktik pemaksaan jual-beli foto.
“Nggak ada larangan untuk orang memotret. Tetapi kalau orang memaksa menjual potretnya, ya nggak boleh.”
Penegasan ini muncul setelah viral kasus di Tebet Ecopark (Jakarta Selatan), di mana ada komunitas yang meminta tarif tinggi kepada pengunjung yang ingin difoto. Setelah itu, pemprov mengambil tindakan untuk menertibkan praktik tersebut.
BACA JUGA:Gawat! ChatGPT, Cloudflare, dan 23 Platform Lain Dipertimbangkan untuk Diblokir oleh Pemerintah
Pernyataan resmi ini menjadi penting sebagai landasan bahwa fotografi di ruang publik di Ibu Kota tetap sah asalkan dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan dalam bentuk apapun.
Banyak fotografer dan pengguna media sosial di Indonesia belum sepenuhnya sadar akan hak cipta dan konsekuensinya. Kesadaran ini penting agar hak pencipta dihormati.
Di saat media sosial makin mendominasi, foto bisa tersebar global dalam hitungan detik baik foto jurnalistik, street photography, maupun dokumentasi biasa. Tanpa regulasi atau etika jelas, potensi penyalahgunaan sangat tinggi.
Foto bukan sekadar ilustrasi, namun bisa menjadi bagian penting dari narasi, bukti, atau bahkan alat verifikasi. Memahami aspek hukum dan etika fotografi akan meningkatkan kredibilitas jurnalistik dan melindungi redaksi dari risiko hukum.
Memasukkan perspektif subjek membuat narasi lebih manusiawi. Bukan hanya soal konflik, tetapi juga soal pengalaman, persetujuan, dan keberagaman sudut pandang.
Apa yang Perlu Diperhatikan Sebagai Penulis/Wartawan
-
Selalu minta izin tertulis (atau minimal persetujuan eksplisit) sebelum menggunakan foto orang terutama jika untuk publikasi atau komersial.
-
Cantumkan kredit fotografer dan hak cipta jika mengambil foto dari pihak lain. Jika tidak, lebih baik gunakan foto dengan lisensi jelas (misalnya Creative Commons, atau milik redaksi sendiri).
-
Verifikasi keaslian gambar jika diperoleh melalui pihak ketiga. Hindari foto yang tampak diedit berlebihan atau berasal dari sumber tak jelas.
-
Hormati kenyamanan subjek foto terutama ketika melibatkan anak-anak, orang tua, atau kelompok rentan. Mintalah persetujuan jika memungkinkan.
-
Pahami regulasi lokal seperti di Indonesia, undang-undang hak cipta berlaku otomatis pada karya fotografi dan memberikan hak moral dan ekonomi kepada pencipta.
-
Gunakan fotografi secara etis dan bertanggung jawab baik sebagai jurnalis, foto-dokumenter, maupun fotografer amatir yakni dengan menghormati privasi, martabat, dan hak subjek.
Dunia fotografi hari ini jauh lebih kompleks daripada sekadar “jepret dan unggah.” Kini, wawasan soal etika, hukum, dan teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari bagaimana kita mengambil dan menyebarkan gambar. Namun, di tengah kompleksitas itu, penting juga mempertimbangkan sudut pandang manusia seperti pengalaman seorang pelari yang merasa nyaman dan senang difoto.
Bagi wartawan dan praktisi media, memahami dimensi ini bukan sekadar penting tapi krusial untuk menjaga kredibilitas, integritas, dan keadilan. Memotret bukan hanya soal menangkap momen tetapi juga memahami konsekuensinya.
Sumber: jurnal uin jakarta
