Pakar UB Soroti Dampak Kebijakan Tarif Trump, Indonesia Harus Cepat Ambil Peluang

dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA.--ub
MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Dua akademisi Universitas Brawijaya (UB) memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan ekonomi global terbaru yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump. Yakno, kebijakan berupa penetapan tarif universal sebesar 10 persen untuk seluruh barang asing plus tarif resiprokal yang besarnya berbeda-beda setiap negara.
Indonesia sendiri dikenakan tarif resiprokal 32 persen. Sementara Tiongkok, tarif yang dikenakan mencapai 145 persen.
Langkah yang diumumkan pada awal April lalu ini memicu perhatian para ekonom dan pengamat politik dunia. Tak terkecuali dari kalangan akademisi UB, yang menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, SE., ME., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB), menjelaskan bahwa kebijakan tarif tersebut merupakan strategi proteksionisme Amerika untuk menekan defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok. Namun, dampaknya tidak bisa dianggap sepele.
"Kebijakan ini bisa memicu spillover effect, karena Tiongkok juga mengimpor bahan baku dari negara-negara lain, termasuk Indonesia." jelas Wildan, Rabu (16/4).
Wildan menilai langkah Trump sangat bertolak belakang dengan prinsip perdagangan bebas dan berpotensi mengganggu stabilitas harga serta mengurangi consumer surplus. Ia juga mengingatkan risiko terjadinya deadweight loss dalam perdagangan global.
Dalam penjelasannya, Wildan menekankan pentingnya respons strategis dari Indonesia. Ia menyarankan agar pemerintah mengalihkan ekspor ke negara mitra lain, meningkatkan investasi dalam inovasi, serta memperkuat daya saing melalui kemudahan berbisnis.
Sementara itu, dari perspektif kebijakan publik dan pemerintahan, dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA., justru melihat peluang besar di balik kebijakan kontroversial Trump tersebut. Ia menilai, tekanan tarif terhadap Tiongkok bisa membuka jalan bagi Indonesia untuk menarik investasi asing yang ingin menghindari beban tarif tinggi.
"Ini momentum bagi Indonesia untuk menarik relokasi industri dari Tiongkok. Terutama di sektor manufaktur berorientasi ekspor." ujar Andhyka.
Lebih lanjut, ia mendorong pemerintah untuk segera melakukan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi agar manfaat dari perubahan iklim global ini bisa diraih secara maksimal dan berkelanjutan.
Menurut Andhyka, masa pemberlakuan kebijakan resiprokal selama 90 hari dapat digunakan sebagai waktu strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi dagang, termasuk memperluas skema GSP (Generalized System of Preferences) dan memperjuangkan perlakuan khusus terhadap produk unggulan nasional.
Pandangan kedua akademisi UB ini menunjukkan peran aktif kampus dalam merespons isu-isu global secara kritis dan solutif. Universitas Brawijaya kembali menegaskan posisinya sebagai pusat pemikiran strategis yang siap menjembatani persoalan ekonomi dan kebijakan luar negeri dengan perspektif akademik berbasis solusi.
Sumber: prasetya.ub.ac.id