Bahas Cyber Notary, Ketua Ikatan Notaris Malang Raih Gelar Doktor dari UB
Arini (kudung putih) merayakan gelar baru bersama rekan, sahabat dan mahasiswa usai sidang disertasi doktor-Metta/Disway Malang-
LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID--Isu kekosongan hukum mengenai penerapan cyber notary di Indonesia menjadi bahasan utama dalam sidang ujian terbuka disertasi Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), yang digelar pada Kamis (16/11).
Promovendus Arini Jauharoh, S.H., M.Kn., memaparkan hasil penelitian terkait isu tersebut di hadapan para promotor dan penguji dalam sidang yang berlangsung di Auditorium Gedung A lantai 6, Kampus FH UB itu.
Sidang tersebut dihadiri oleh tiga promotor: Prof. Dr. Suhariningsih, S.H., SU (Promotor), Dr. Bambang Sugiri, S.H., M.S. (Co-Promotor I), dan Dr. Amelia Srikusumadewi, S.H., M.Kn. (Co-Promotor II).
Selain itu, empat penguji turut mengevaluasi penelitian, yaitu Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum. (Penguji I), Dr. Budi Santoso, S.H., LL.M. (Penguji II), Dr. Reka Dewantara, S.H., M.H. (Penguji III), serta Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. (Penguji Tamu).
Tabellionis Officum Fideliter Exercebo
Sidang dimulai dengan Arini memaparkan latar belakang penelitiannya, yang berangkat dari masalah kekosongan hukum mengenai cyber notary. Kekosongan hukum, jelasnya, berbeda dengan tidak adanya hukum. Kekosongan hukum terjadi karena hukum yang ada belum mampu mengakomodasi kebutuhan teknologi modern.
Meski Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) telah berlaku sejak 2024, menurut Arini masih terdapat hambatan dalam penerapannya.
Salah satu hambatan terbesar adalah tafsir asas Latin Tabellionis Officum Fideliter Exercebo, yang berarti "notaris bekerja secara tradisional."
BACA JUGA:Prinsip Jakun Pengganggu Cyber Notary
Asas ini, yang menurut promovendus menjadi landasan kuat dalam praktik notaris di Indonesia. Sekaligus, memerlukan reinterpretasi agar sejalan dengan kebutuhan zaman yang serba digital.
Arini menegaskan pentingnya regulasi yang mendukung penerapan teknologi seperti tanda tangan elektronik, teknologi pengenalan wajah, hingga sidik jari untuk otentikasi dokumen.
Tantangan dan Diskusi dari Para Penguji
Sidang yang berlangsung selama kurang lebih 120 menit sempat menegangkan saat para penguji mulai melontarkan pertanyaan kritis. Pertanyaan pertama diajukan oleh Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., yang menyoroti tantangan implementasi cyber notary.
“Bagaimana suasana cyber notary yang digambarkan oleh para notaris di Indonesia? Apakah prosesnya justru akan memakan waktu lebih lama dibandingkan sistem manual saat ini?” tanyanya.
Sumber: