Fenomena Familicide, Pembunuhan Massal Berkedok Bunuh Diri Sekeluarga Jadi Sorotan KPAI
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini.--Dok. KPAI
JAKARTA, DISWAYMALANG.ID – Kejadian upaya bunuh diri sekeluarga atau familicide dengan latar belakang pinjaman online (pinjol) yang terjadi belakangan ini disorot oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
"KPAI menyoroti kasus familicide yang memang kerap meningkat di akhir dan awal tahun, ketika tekanan ekonomi membesar akibat tagihan utang, khususnya pinjol," ungkap anggota KPAI klaster Kekerasan Fisik dan/atau Psikis Diyah Puspitarini dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (17/12).
Dijelaskannya, kedua kasus di Kediri dan Tangerang yang terjadi belum lama ini merupakan salah satu contoh fenomena familicide atau pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap pasangan hidup dan anak-anaknya secara bersamaan.
"Pembunuhan ini dikategorikan sebagai mass murder karena melibatkan beberapa korban dalam satu waktu. Penyebab utamanya seringkali adalah hilangnya kendali, terutama dalam aspek ekonomi, yang biasanya dirasakan oleh kepala keluarga laki-laki," katanya.
Menurutnya, ketidakmampuan mengatasi tekanan ekonomi menyebabkan pelaku merasa putus asa, bahkan memilih mengakhiri hidup bersama anggota keluarganya.
Seperti ramai diberitakan, kasus familicide kembali terjadi di Kediri dan Tangerang Selatan dalam waktu yang hampir bersamaan. Pada Sabtu, 14 Desember 2024 lalu, sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak diduga mencoba untuk mengakhiri hidup bersama. Namun kemudian, ayah, ibu, dan anak pertama (5 tahun) berhasil diselamatkan, sedangkan anak kedua (2 tahun) meninggal dunia. Diketahui keputusan ekstrem ini dipicu oleh masalah ekonomi, khususnya jeratan pinjol.
Sehari berselang, Minggu, 15 Desember 2024, sekeluarga di Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak umur 3 tahun juga ditemukan meninggal dunia. Meski penyebab pasti belum diketahui, namun sang istri sempat menceritakan masalah utang pinjol kepada tetangga.
Lebih lanjut Diyah menjelaskan, hilangnya kontrol atas kestabilan ekonomi rumah tangga membuat individu merasa kehilangan identitas, harga diri, dan kemampuan untuk memenuhi ekspektasi sebagai "pemimpin keluarga".
"Situasi ini menciptakan rasa putus asa yang mendalam, sehingga pelaku cenderung berpikir bahwa satu-satunya solusi adalah mengakhiri hidup bersama anggota keluarga," tuturnya.
Diyah menambahkan, pemicu utama familicide pada banyak kasus adalah terjerat pinjol. "Beban bunga tinggi, penagihan agresif, dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak pinjol mendorong kepala keluarga ke titik terendah," paparnya.
Tak hanya itu, Diyah menyebut faktor ekonomi dan emosional turut berperan besar dalam melahirkan tindakan nekat ini, seperti depresi, perasaan gagal, dan ketidakmampuan untuk mencari bantuan menjadi pemicu bertambahnya risiko.
Anak-anak Ikut Menjadi Korban
"Yang paling menyedihkan dari fenomena familicide adalah anak-anak yang turut menjadi korban. Mereka tidak memiliki daya untuk melawan dominasi orang tua, apalagi jika usianya masih sangat muda," lanjutnya.
Seperti halnya kasus tragis anak yang ditemukan tergantung di Cirendeu, menjadi bukti nyata bagaimana anak dipaksa untuk ikut serta dalam keputusan ekstrem orang tua.
"Pada anak-anak usia remaja, terkadang ada upaya perlawanan. Tetapi dominasi fisik dan psikologis dari orang tua membuat usaha tersebut jarang berhasil," lanjut Diyah.
Karena itu, Diyah menegaskan pentingnya perhatian pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan keluarga besar dalam mencegah peristiwa serupa
"Semua pihak harus bergerak bersama untuk memastikan keluarga yang tengah mengalami kesulitan tidak merasa sendirian dan menemukan solusi yang lebih manusiawi," tuturnya.
Deteksi Dini dari Keluarga Besar dan Tetangga
Kendati demikian, Diyah menilai bahwa kurangnya pengawasan dari keluarga besar dan lingkungan sekitar turut memperburuk situasi ini.
"Sebagai negara dengan budaya extended family atau keluarga terbuka, peran aktif keluarga besar sangat dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi anggotanya," jelasnya.
Selain itu, tetangga dan masyarakat turut bertanggung jawab untuk mengenali tanda-tanda perubahan perilaku dalam keluarga, seperti isolasi sosial, tekanan emosional yang meningkat, atau kesulitan ekonomi.
Hal ini sebagai upaya untuk deteksi dini sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. "Namun, lemahnya pengawasan dan kurangnya kepedulian lingkungan sekitar sering membuat tanda-tanda awal masalah terabaikan. Ketidakterlibatan tetangga atau masyarakat dalam memantau situasi keluarga turut memperburuk kondisi."
Maka dari itu, kasus familicide menekankan pentingnya membangun kepedulian sosial di tengah masyarakat.
"Keluarga besar, tetangga, dan pihak berwenang harus lebih peka terhadap perubahan mencurigakan dalam keluarga di sekitar mereka. Intervensi dini dapat mencegah tragedi, menyelamatkan nyawa, dan memutus rantai kekerasan dalam keluarga."
Kembali, Diyah mengingatkan bahwa fenomena familicide merupakan peringatan serius terhadap bahaya tekanan ekonomi dan gangguan mental yang tidak tertangani.
"Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga yang tersisa. Anak-anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru menjadi korban paling rentan dalam situasi ini," pungkas Diyah. (*)
Sumber:
