22 Mei Juga Hari Preeklamsia Sedunia : Ketika Kehamilan Tak Lagi Sekadar Menanti Bahagia
Hari Preeklamsia Sedunia - Cegah Untuk Selamatkan 2 Nyawa!-pinterest-
4. Peran Plasenta dalam Preeklamsia
Plasenta memegang peranan kunci dalam munculnya preeklamsia. Gangguan perkembangan pembuluh darah di plasenta menjadi penyebab utama aliran darah dari ibu ke janin menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen) pada jaringan plasenta, yang memicu pelepasan zat-zat toksik ke dalam peredaran darah ibu.
Zat-zat seperti sFlt-1 (soluble fms-like tyrosine kinase-1) dan endoglin, yang dilepaskan dari plasenta, kemudian mengganggu keseimbangan angiogenesis (pembentukan pembuluh darah) dan menyebabkan kerusakan endotel pada pembuluh darah ibu. Ini yang akhirnya menimbulkan tekanan darah tinggi dan kerusakan organ.
Dengan kata lain, plasenta bukan hanya penyalur nutrisi bagi janin, tapi juga pusat “alarm” kesehatan selama kehamilan. Maka, setiap gangguan pada plasenta harus dipantau secara serius.
5. Hipertensi Kronis Bisa Jadi Pemicu
Preeklamsia dan hipertensi kronis adalah dua entitas yang saling terkait. Hipertensi kronis—tekanan darah tinggi yang sudah ada sebelum kehamilan atau muncul sebelum usia kehamilan 20 minggu—meningkatkan risiko preeklamsia hingga 25% menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG).
Wanita dengan riwayat tekanan darah tinggi cenderung mengalami gangguan pada lapisan endotel pembuluh darah. Saat kehamilan terjadi, beban pada sistem vaskular meningkat, sehingga risiko terjadi preeklamsia pun melonjak. Selain itu, hipertensi kronis juga bisa menutupi gejala awal preeklamsia, menyebabkan diagnosis tertunda.
Pengelolaan hipertensi kronis selama kehamilan menjadi sangat penting. Obat-obatan seperti labetalol, nifedipin, dan metildopa sering digunakan karena relatif aman untuk ibu hamil. Namun, pemantauan laboratorium secara berkala tetap diperlukan untuk memastikan tidak terjadi kerusakan organ yang tak terdeteksi.
6. Faktor Genetik dan Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga menjadi indikator penting dalam risiko preeklamsia. Jika seorang ibu, saudara kandung, atau nenek pernah mengalami preeklamsia, maka risiko seseorang untuk mengalami hal yang sama meningkat hingga dua kali lipat. Hal ini dibuktikan dalam meta-analisis oleh Journal of Hypertension, Lippincott(2021) yang menunjukkan hubungan signifikan antara faktor genetik dan kejadian preeklamsia.
Namun, gen bukan satu-satunya faktor. Faktor epigenetik juga turut berperan. Misalnya, pola makan keluarga, gaya hidup, hingga paparan stres yang serupa dalam satu keluarga besar dapat memperparah kecenderungan genetik tersebut.
7. Pemeriksaan Laboratorium yang Direkomendasikan
Deteksi preeklamsia membutuhkan kombinasi antara pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penilaian klinis menyeluruh. Salah satu tes dasar adalah pemeriksaan tekanan darah dan urinalisis untuk mendeteksi proteinuria.
Rasio sFlt-1/PlGF (placental growth factor) merupakan prediktor kuat preeklamsia. Rasio ini meningkat secara signifikan beberapa minggu sebelum munculnya gejala klinis, sehingga bisa digunakan sebagai alat skrining pada kehamilan risiko tinggi.
Selain itu, pemeriksaan fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT, LDH), kadar asam urat, serta jumlah trombosit sangat penting untuk menilai keparahan penyakit. Penurunan trombosit dan peningkatan enzim hati dapat menandakan sindrom HELLP.
Sumber: the lancet global health
