MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, dinamika politik di Asia Timur berbalik arah.
Pada 12 Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat dipanggil oleh Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Pasifik, Marsekal Hisaichi Terauchi, di Dalat, Vietnam. Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Namun, janji itu buyar. Dua hari kemudian, 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Kabar kekalahan Jepang yang disebarkan lewat radio Sekutu langsung diserap oleh para pemuda Indonesia melalui siaran radio bawah tanah.
Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pergerakan muda, dengan segera menyampaikan informasi penting itu kepada Soekarno dan Hatta.
Berita ini memicu perbedaan pandangan golongan muda ingin agar kemerdekaan diproklamasikan secepat mungkin tanpa menunggu instruksi Jepang, sedangkan golongan tua lebih berhati-hati dengan tetap menunggu sidang PPKI, organisasi bentukan Jepang.
Perdebatan Panas Antara Golongan Muda dan Tua
Pada 15 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo mencari kejelasan situasi kepada beberapa pejabat Jepang di Jakarta.
Dari Laksamana Maeda, mereka memastikan kabar bahwa Jepang memang telah kalah. Namun, perbedaan sikap makin tajam.
Golongan tua, dengan pertimbangan matang, menginginkan kemerdekaan diumumkan lewat PPKI agar tidak menimbulkan kekacauan.
Sementara golongan muda yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Sjahrir, Wikana, Chaerul Saleh, dan Sukarni, menilai langkah itu terlalu lambat.
Ketegangan memuncak ketika Wikana dan kawan-kawan mendesak Soekarno agar segera mengumumkan proklamasi.
Soekarno menolak keras dengan alasan tidak ingin menimbulkan korban sia-sia. Penolakan ini memicu kekecewaan mendalam di kalangan pemuda.
Mereka bahkan mengancam akan bergerak sendiri bila Soekarno tetap bersikeras menunda.
Penculikan ke Rengasdengklok
Situasi buntu membuat golongan muda mengambil langkah berani. Pada 16 Agustus 1945 dini hari, Soekarno dan Hatta “diamankan” ke sebuah daerah di Jawa Barat, Rengasdengklok, sekitar 80 km dari Jakarta. Daerah ini dipilih karena strategis dekat dengan markas tentara PETA dan relatif bebas dari pengawasan militer Jepang.
Di sana, keduanya ditempatkan di rumah Djiaw Kie Siong, seorang petani keturunan Tionghoa yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan.