“Cahokia Rice bukan hanya inovasi sains, tapi juga misi kemanusiaan. Kami ingin menciptakan solusi pangan yang sehat, alami, dan dapat membantu mengatasi masalah kekurangan gizi global, terutama protein,” ungkap Prof. Herry.
Dia menjelaskan bahwa pengembangan varietas ini memakan waktu bertahun-tahun dan dilakukan dengan pendekatan riset yang holistik. Mulai dariseleksi genetik, pengujian kualitas gizi, hingga adaptasi agronomis di berbagai wilayah.
“Inovasi ini menunjukkan bahwa sains bisa bergerak sejalan dengan kearifan lokal dan kesehatan masyarakat,” tambahnya.
Beras Cahokia juga memiliki keunggulan agronomis: umur pendek, tahan terhadap penyakit jamur Pyricularia grisea, berbulir panjang, serta mampu dipanen hingga 7.560 kg/ha. Produksinya bahkan mampu menghasilkan hingga 150 kg protein murni per hektar—setara dengan 550 kg daging atau 4.500 liter susu. Jika varietas ini ditanam secara luas di Indonesia, maka dapat berkontribusi terhadap tambahan asupan protein nasional hingga 1 juta ton per tahun, atau setara dengan 3,6 juta ton daging.
“Silakan makan nasi, ini aman. Tanaman ini bukan GMO, tapi alami yang kita ciptakan di Louisiana. Karakter ini tidak ada secara alami, jadi kita harus menciptakannya melalui proses mutasi,” jelas Herry
Prof. Herry berharap kehadiran Cahokia Rice dapat menjadi model bagi pengembangan varietas fungsional lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dia juga membuka peluang kerja sama riset dengan institusi dalam negeri untuk mengadaptasi teknologi ini di lahan-lahan lokal.
Meski secara struktural tidak lagi diwajibkan untuk mengajar, Prof. Herry tetap aktif membagikan ilmu dan pengalaman melalui kuliah daring serta kerja sama riset lintas negara. Ia juga aktif terlibat dalam misi sosial dan pendidikan, terutama di Papua dan wilayah tertinggal lainnya. Serta menjalin kolaborasi antara universitas di Indonesia dan lembaga riset internasional.
Tetap Peduli Indonesia
Meskipun menetap di Amerika Serikat, Prof. Herry tetap menjaga keterhubungan yang erat dengan Indonesia. Ia rutin pulang untuk mendukung berbagai inisiatif pendidikan, terutama di daerah tertinggal seperti Papua.
Salah satu kiprahnya di Tanah Air antara lain membantu dalam penyusunan Master Plan Pengembangan Kawasan Lumbung Pangan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara tahun 2021 lalu. Dia hadir di Humbang Hasundutan bersama Prof. Ida Wenefrida, rekannya di LSU AgCenter.
Prof. Herry bersama Prof. Ida Wenefrida, rekannya di LSU AgCenter saat di Food Estate Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2022--Pemkab Humbang Hasundutan
Selain berkiprah di bidang akademik, Prof. Herry saat ini menjabat sebagai Presiden Indonesian Diaspora Network United (IDN-U), organisasi yang menaungi diaspora Indonesia di seluruh dunia. Kiprahnya menunjukkan komitmen untuk terus membangun jembatan antara ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kontribusi nyata bagi tanah air.
Prof. Herry juga aktif menjalin kerja sama strategis dengan universitas-universitas di tanah air. Tak jarang, dia juga berpartisipasi dalam acara kebudayaan dan forum internasional yang memperkuat hubungan antara Indonesia dan komunitas diasporanya.
Dalam pesannya untuk mahasiswa Indonesia, khususnya sivitas akademika Universitas Brawijaya, Prof. Herry menyampaikan motivasi panjang yang menyentuh:
Dia berpesan kepada mahasiswa UB dan seluruh generasi muda Indonesia untuk tidak pernah takut bermimpi besar. Tidak ada yang tidak mungkin kalau sungguh-sungguh. Ia berasal dari Malang, kuliah di UB, belajar dari nol, menempuh banyak tantangan sebagai mahasiswa asing. Tetapi ia percaya bahwa setiap mimpi itu sah untuk diperjuangkan.
“Kita tidak bisa memilih dilahirkan di mana, tapi kita bisa memilih bagaimana kita melangkah dan bertumbuh. Banyak yang mengira sukses hanya untuk mereka yang punya keistimewaan. Tapi saya percaya, sukses itu untuk siapa saja yang mau kerja keras, terus belajar, dan tidak mudah menyerah. Jangan takut gagal, karena gagal itu bagian dari proses tumbuh. Mentalitas seperti ini yang harus kalian bangun: tidak cengeng, tidak cepat puas, dan terus memperbaiki diri,” paparnya.
Dia mengajak generasi muda untuk keluar dari zona nyaman. “Dunia itu luas. Gunakan masa kuliah bukan hanya untuk dapat IPK bagus, tapi juga untuk membangun karakter, memperluas jaringan, dan memahami bagaimana memberi manfaat untuk masyarakat. Ilmu itu akan lebih bermakna kalau bisa dirasakan orang lain. Dan kalian tidak harus menjadi orang lain untuk bersaing secara global cukup jadi diri sendiri, dengan versi terbaik kalian,” tegasnya.