LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID – Pendidikan bukan lagi ruang pembentukan karakter, tapi mulai berubah menjadi jalur cepat menuju pasar kerja dan ajang perebutan status sosial. Sorotan tajam ini mencuat dalam Dialog Pendidikan bertema “Merayakan Kebhinekaan Menguatkan Pendidikan” yang digelar di Kota Malang, Senin (2/6/2025) di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang.
Dalam forum itu, terungkap sejumlah tantangan besar yang kini membelit dunia pendidikan di Kota Malang—dari disorientasi nilai, dominasi teknologi, hingga komersialisasi pendidikan.
“Dulu orang tua bilang ke anak: sekolah yang pintar biar berguna bagi bangsa. Sekarang, sekolah yang pintar biar cepat kerja bagus,” ujar Wakil Wali Kota (Wawali) Malang, Ali Muthohirin, dalam pidatonya.
Menurut dia, nilai-nilai itu sudah bergeser. "Dan kita mulai kehilangan arah,” tambahnya.
Ali menyoroti betapa cepatnya anak-anak menyerap konten dari media sosial dibandingkan nilai dari ruang kelas. Fenomena ini, menurutnya, menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kini dikepung arus informasi yang serba instan dan tak selalu bermakna.
“Guru mengajar dari pagi sampai sore, tapi bisa kalah pengaruhnya oleh satu video TikTok viral. Itu kenyataan hari ini,” ucapnya.
Tak hanya itu, ia menilai pendidikan kini terlalu berorientasi pada hasil instan ijazah, ranking, nilai akademik, dan peluang kerja dan semakin menjauh dari nilai-nilai dasar seperti kejujuran, toleransi, gotong royong, dan kebhinekaan.
“Pendidikan itu soal hati. Tapi sekarang, hubungan emosional antara guru dan murid juga makin renggang, tergantikan oleh layar-layar aplikasi.”
Ali juga menyindir keras bahwa dalam era digital hari ini, kepercayaan publik bukan lagi pada ilmuwan atau guru, tapi pada sosok yang paling sering muncul di layar ponsel.
“Seorang profesor bisa kalah pengaruhnya dibanding satu meme yang viral di WhatsApp. Ini krisis kepercayaan,” katanya.
“Artis dibayar mahal untuk merusak, guru dibayar murah untuk mendidik,” sindirnya pedas.
Pembentukan Karakter vs Pabrik Ijazah
Forum tersebut juga membahas bagaimana pendidikan kini berubah menjadi simbol status sosial. Sekolah-sekolah elite berlomba menjual citra dan fasilitas, sementara orang tua berebut bangku bukan karena kurikulum, melainkan karena gengsi.
Wawali Ali secara khusus menyorot pendidikan di Kota Malang. Menurut dia, meski penduduk resmi Kota Malang hanya sekitar 870 ribu jiwa, jumlah yang tinggal dan belajar di dalamnya mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Ini menjadikan Malang sebagai salah satu episentrum pendidikan nasional.
Namun, menurutnya, beban ini justru menjadi risiko besar jika tidak ditopang oleh arah pendidikan yang kuat.