Selama cuti melahirkan, pekerja perempuan berhak untuk tetap mendapatkan gaji, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 5 ayat (2) UU KIA. Untuk 4 bulan pertama, pekerja akan menerima gaji penuh, sedangkan pada bulan kelima hingga keenam, pekerja akan menerima 75% dari gaji. Hal ini menjamin ibu tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya selama cuti melahirkan tanpa harus khawatir tentang penghasilan.
Ketentuan ini sangat penting untuk memastikan ibu bisa fokus sepenuhnya pada pemulihan dan perawatan anak tanpa merasa tertekan untuk kembali bekerja lebih cepat. Adanya gaji penuh pada tiga bulan pertama memberikan kestabilan finansial, sementara pengurangan gaji pada bulan berikutnya masih memberikan dukungan yang layak selama masa pemulihan dan penyesuaian dengan rutinitas baru sebagai ibu.
5. Hak atas Waktu Istirahat jika Mengalami Keguguran
Jika seorang ibu mengalami keguguran, ia tetap berhak atas waktu istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter. Hal ini diatur dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan, yang memberi hak bagi perempuan untuk memperoleh cuti yang memadai untuk pemulihan fisik dan emosional setelah keguguran. Keguguran adalah proses yang penuh tantangan bagi ibu, dan hak cuti ini penting agar ibu dapat pulih dengan baik.
Waktu istirahat yang diberikan tidak hanya sekadar waktu untuk beristirahat, tetapi juga waktu untuk mendapatkan dukungan medis yang dibutuhkan. Dengan adanya cuti keguguran yang diatur oleh undang-undang, ibu yang mengalaminya dapat menjalani pemulihan dengan lebih baik tanpa harus tertekan dengan pekerjaan. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap kesejahteraan ibu di tempat kerja.
6. Akses Laktasi: Hak untuk Menyusui Anak di Tempat Kerja
UU KIA juga mengatur tentang hak ibu yang bekerja untuk mendapatkan akses laktasi di tempat kerja. Artinya, perusahaan wajib memberikan waktu yang cukup bagi ibu untuk menyusui atau memerah ASI selama jam kerja. Hal ini bertujuan untuk mendukung proses pemberian ASI eksklusif bagi bayi selama 6 bulan pertama kehidupan.
Selain waktu, perusahaan juga diwajibkan menyediakan fasilitas laktasi yang layak, seperti ruang menyusui atau tempat memerah ASI yang bersih dan nyaman. Dengan adanya hak ini, ibu pekerja tidak perlu khawatir mengenai kualitas ASI yang diberikan kepada bayi mereka, sekaligus membantu menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan pengasuhan anak.
7. Fasilitas Penitipan Anak yang Terjangkau
Selain waktu dan fasilitas laktasi, akses penitipan anak yang terjangkau dan mudah dijangkau juga menjadi hak bagi ibu yang bekerja, sebagaimana diatur dalam UU KIA. Penitipan anak yang baik dapat membantu ibu kembali bekerja dengan tenang, karena anaknya berada di tempat yang aman dan terjamin.
Fasilitas penitipan anak yang dekat dengan tempat kerja sangat penting, baik dari sisi jarak maupun biaya. Hal ini memberikan kemudahan bagi ibu untuk mengunjungi anaknya jika diperlukan. Dengan adanya fasilitas penitipan yang terjangkau, ibu dapat mengelola pekerjaan dan pengasuhan dengan lebih baik, tanpa harus merasa cemas tentang kesejahteraan anak mereka.
8. Tidak Boleh di PHK Selama Hamil
Salah satu hak yang sangat penting bagi ibu yang sedang menjalani kehamilan adalah perlindungan dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan UU Ketenagakerjaan pasal 153 ayat 1 e, perusahaan tidak boleh memberhentikan pekerja yang sedang hamil, melahirkan, gugur kandungan , menyusui bayi. Ini adalah langkah penting dalam melindungi ibu dari risiko kehilangan pekerjaan di saat yang paling rentan bagi mereka.
Meskipun perusahaan berhak melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan tertentu (efisiensi), hak seperti uang pesangon tetap harus dibayarkan.
9. Apa Yang Harus Dilakukan Jika Hak Tidak Dipenuhi!
Jika hak-hak pekerja perempuan, termasuk hak cuti melahirkan, tidak dipenuhi atau jika terjadi pemutusan hubungan kerja secara tidak sah selama masa cuti melahirkan, pekerja berhak untuk melakukan langkah tegas. Pekerja perempuan dapat melakukan perundingan bipartit (serikat pekerja - pengusaha untuk mufakat), jika usaha bipartit gagal, dapat melaporkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan menghadirkan mediator dari perusahaan pula, namun jika perusahaan tetap menolak arahan dari mediator, hal ini boleh dijadikan dasar sebagai gugatan ke pengadilan negeri setempat.