9 Novel tentang Perang Dunia II yang Menggugah Nurani

Jumat 09-05-2025,14:22 WIB
Reporter : Immanuela Regina
Editor : Agung Pamujo

Salah satu karya klasik sastra anak-anak yang berani mengangkat tema Holocaust dengan pendekatan yang lembut. Tokohnya adalah Annemarie Johansen, gadis Denmark yang membantu teman Yahudinya melarikan diri dari Nazi. Meskipun ditulis untuk pembaca muda, novel ini menyampaikan pesan mendalam tentang keberanian, persahabatan, dan integritas moral.

Lowry tidak mengumbar kekerasan, namun justru melalui narasi yang tenang dan penuh simpati, ia mampu menyentuh hati pembaca dari berbagai usia. Number the Stars adalah pengingat bahwa dalam setiap tragedi, selalu ada ruang untuk kemanusiaan yang menyelamatkan.

5. When Hitler Stole Pink Rabbit – Judith Kerr

Kisah ini merupakan semi-autobiografi Judith Kerr, yang mengisahkan masa kecilnya sebagai pengungsi Yahudi dari Jerman. Dalam kepanikan meninggalkan tanah kelahiran, satu hal yang tertinggal adalah boneka kelinci merah muda. Simbol kecil ini menjadi metafora dari seluruh kehidupan yang direnggut oleh kekuasaan fasis.

Kerr menuturkan ceritanya dengan jujur dan dari sudut pandang anak-anak. Tidak ada adegan kekerasan eksplisit, tapi rasa kehilangan dan ketidakpastian terasa begitu nyata. Buku ini menyadarkan bahwa perang bukan hanya soal medan tempur, tetapi juga tentang rumah yang hilang dan identitas yang tercerabut.

6. Suite Française – Irène Némirovsky

Uniknya, novel ini tidak pernah selesai ditulis karena sang penulis tewas di kamp Auschwitz. Namun dua bagian awalnya yang berhasil diselamatkan memberikan gambaran mendalam tentang kehidupan warga Prancis selama pendudukan Jerman. Bukan tentang pertempuran, melainkan tentang dinamika sosial: kolaborasi, rasa takut, dan kebingungan moral.

Suite Française terasa otentik dan menyentuh karena ditulis saat kejadian berlangsung. Tidak ada romantisasi, hanya kejujuran tentang hidup sebagai orang biasa dalam perang. Ini bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen sejarah yang bernapas.

7. The Boy in the Striped Pyjamas – John Boyne

Cerita Bruno dan Shmuel menjadi salah satu kisah fiksi paling dikenang tentang Holocaust. Bruno, anak komandan kamp konsentrasi, menjalin persahabatan dengan Shmuel, bocah Yahudi yang dipenjara. Ketidaktahuan Bruno menjadi gambaran betapa mudahnya kebencian sistemik membutakan generasi muda.

Ending novel ini sangat menyentak, dan tidak mudah dilupakan. Boyne tidak menyampaikan pesan secara eksplisit, tetapi justru membuat pembaca menyimpulkan sendiri betapa tragisnya konsekuensi dari ketidaktahuan dan indoktrinasi selama perang.

8. Atonement – Ian McEwan

Bukan novel perang dalam arti harfiah, namun Atonement mengikat tragedi personal dan sejarah dalam satu narasi. Seorang gadis bernama Briony melakukan tuduhan keliru yang menghancurkan hidup kakaknya dan kekasihnya. Latar perang menjadi katalis kehancuran dan penebusan yang tidak pernah utuh.

9. Catch-22 – Joseph Heller

Berbeda dari yang lain, Catch-22 adalah satir gelap tentang absurditas birokrasi militer. Tokoh utamanya, Yossarian, ingin keluar dari perang tetapi terjebak dalam logika lingkaran setan: siapa pun yang ingin keluar dianggap waras dan karena itu tidak bisa keluar. Novel ini menertawakan sistem perang yang tidak masuk akal.

Meskipun lucu, humor dalam Catch-22 bersifat getir dan sinis. Novel ini membuka mata bahwa kekejian perang tidak hanya terletak pada kekerasan fisik, tetapi juga dalam absurditas sistem yang mengorbankan nyawa demi aturan.

Mengenang dengan Nurani, Bukan Sekadar Nostalgia!

Kategori :