MALANG, DISWAYMALANG.ID -- Kata bisa jadi senjata paling kuat — bahkan lebih tajam dari pedang. Di balik novel-novel yang membekas di ingatan, ada para wordsmith ulung yang memainkan kata layaknya musisi memainkan nada.
Wordsmith Day yang diperingati setiap 3 Mei adalah momen yang tepat untuk menengok kembali gaya para penulis besar dunia dalam menyusun kata-kata mereka. Bagi pelajar, jurnalis, hingga calon novelis, memahami gaya penulisan para maestro ini bisa jadi kunci memperkaya kosakata dan memperhalus insting menulis.
BACA JUGA:3 Mei, Hari Penulis Kata! Yuk Perkaya Kosakata Dengan Cara Ini Agar Tulisan Makin Variatif!
Berikut sembilan tokoh penulis novel paling berpengaruh di dunia yang gaya penulisannya bisa dipelajari!
1. J.K. Rowling: Membuat Kosakata Baru yang Ikonik
Rowling bukan hanya merangkai cerita yang memikat, tapi juga menciptakan kosakata baru yang kini terasa "nyata". Dalam Harry Potter, ia memperkenalkan istilah seperti Muggle, Quidditch, dan Horcrux, yang semuanya adalah kata ciptaan yang kini masuk kamus Oxford. Ia juga menggunakan nama-nama tokoh yang menggambarkan karakter mereka, seperti Sirius Black (dari nama bintang dan anjing hitam), atau Remus Lupin (yang mengandung unsur serigala dari “lupus”).
Penulis bisa belajar dari Rowling tentang kekuatan menciptakan kata baru dengan dasar dari bahasa Latin, Prancis, atau Inggris klasik. Kata “Pensieve” (tempat penyimpan kenangan) adalah permainan kata dari pensive (merenung) dan sieve (saringan). Ini membuktikan bahwa permainan bunyi dan makna bisa membuat kosakata fiksi terasa nyata dan berkesan.
2. Jane Austen: Irama Kalimat Panjang dan Satir Sosial
Austen terkenal dengan kalimat pembuka Pride and Prejudice: “It is a truth universally acknowledged, that a single man in possession of a good fortune, must be in want of a wife.” Kalimat ini bukan hanya panjang dan formal, tapi juga penuh satir. Austen secara konsisten menggunakan gaya bahasa elegan untuk mengomentari masyarakat kelas atas Inggris.
Contoh lain terlihat dalam dialog Elizabeth Bennet, di mana kata-kata yang digunakan sering menyisipkan sindiran halus. “I could easily forgive his pride if he had not mortified mine.” Kalimat ini menunjukkan ironi tajam dalam pilihan kata. Austen mengajarkan bahwa kosakata bisa memperlihatkan kecerdasan karakter, sekaligus menjadi alat kritik sosial tanpa harus kasar.
3. Stephen King: Sederhana Tapi Efektif Menyampaikan Ketegangan
King menggunakan bahasa yang sangat kasual dan dialog yang menyerupai percakapan sehari-hari. Dalam novel Misery, kalimat seperti “He didn’t get out of the cockadoodie car!” terasa lucu sekaligus menakutkan karena dibalut dalam konteks psikologis yang mencekam. Kata-kata kasar atau ekspresi unik sering ia pilih bukan karena indah, tapi karena mencerminkan kepribadian karakter.
King juga dikenal menghindari kata sifat atau adverb yang berlebihan. Dalam bukunya On Writing, ia menyebut bahwa adverb seperti “he said angrily” sebaiknya dihindari. Lebih baik tunjukkan lewat aksi atau dialog. Misalnya, dalam It, tokoh Pennywise menjadi mengerikan bukan karena dideskripsikan berlebihan, tapi karena King memilih kata-kata pendek dan sederhana seperti “We all float down here.”
4. George R.R. Martin: Mempermainkan Gelar dan Deskripsi Dunia
Dalam A Song of Ice and Fire, Martin memperkenalkan ribuan nama tokoh dan tempat, lengkap dengan gelar unik seperti “Breaker of Chains”, “Mother of Dragons”, dan “The Kingslayer”. Ia memperkaya kosakata dengan memberikan makna simbolis di balik setiap gelar dan nama. Kata-kata seperti Winterfell, Dragonstone, dan Valar Morghulis mengandung nuansa sejarah dan mitologi buatan yang dalam.