JAKARTA, DISWAYMALANG.ID-- Viral kisah seorang ibu di X menjadi korban child grooming saat menikah dengan pria yang terpaut 21 tahun.
Apa itu child grooming?
Dikutip dari laman resmi Siloam Hospital, child grooming adalah tindakan membangun hubungan serta kepercayaan dengan anak-anak atau remaja, dan sering kali pada keluarganya juga dengan tujuan untuk mengeksploitasi, termasuk mengontrol, mengisolasi, hingga menganiaya korbannya secara emosional, fisik, maupun seksual.
Perilaku ini bisa terjadi dan dilakukan di mana saja dalam berbagai jenis situasi.
Beberapa contoh situasi yang biasanya dimanfaatkan pelaku untuk child grooming adalah:
Bertemu secara langsung.
Secara virtual melalui internet.
Dalam suatu organisasi, seperti di sekolah atau tempat kerja.
Melalui media sosial.
Di ruang publik (dikenal juga sebagai street grooming).
Viral Kisah Child Grooming
Di sejumlah cuitannya, wanita berinisial L tersebut menceritakan bagaimana kehidupan rumah tangganya yang mengurusi tujuh anak dengan gaji dari suami yang tengah sakit, gaji sebesar Rp1 juta.
Diketahui, anak L yang paling besar masih di bangku kelas 4 SD dan yang paling kecil hampir memasuki 1 tahun ini hiperaktif hingga sering bikin geleng kepala.
Bagaimana tidak, salah satunya mereka tak henti merusak kasur hingga busa-busa di dalamnya berceceran, memanjat lemari, bergelantung di rak TV, hingga membaluri tubuh dengan susu kental manis.
Lalu warganet mempermasalahkan bagaimana L menikah dengan suaminya yang terpaut usia 21 tahun.
Keduanya menikah ketika L berusia 18 tahun, sedangkan sang suami 39 tahun.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal menikah di Indonesia adalah 19 tahun.
Bahkan, L telah mengenal suaminya sejak hampir lulus SMP dan mulai pendekatan hubungan di kelas 2 SMK.
Kendati demikian, usai ramai mengenai permasalahan ini, L menegaskan bahwa ia menjalani hidupnya dengan baik dan bahagia bersama sang suami.
Pelaku Manipulatif Atas Nama Cinta
Pernikahan terhadap anak di bawah umur ini, merupakan salah satu bentuk dari child grooming.
Plt Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratih Rachmawati menjelaskan, child grooming merupakan tindakan di mana orang dewasa membangun hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja dengan tujuan mengeksploitasi mereka.
"Proses ini dilakukan secara bertahap dan manipulatif sehingga anak tidak menyadari bahwa ada bahaya yang mengancam," terang Ratih kepada Disway, (28/12).
Sehingga, korban sering tak sadar telah menjadi korban karena pelaku mencoba membangun hubungan saling percaya dengan anak-anak tersebut.
Terlebih ketika pelaku sering menunjukkan sikap penuh cinta, perhatian, dan penerimaan yang membuat korban merasa dicintai dan dihargai.
"Korban child grooming sering merasa tidak menjadi korban karena adanya sikap pelaku yang sering menunjukkan rasa cinta, perhatian dan penerimaan yang membuat korban merasa dicintai dan dihargai tanpa membaca niat pelaku menjalin hubungan dengan anak di bawah umur ataupun upaya manipulasi yang dilakukan oleh pihak pelaku," paparnya.
Bahkan, tak jarang korban justru merasa bangga telah menjalin hubungan dengan pelaku yang jauh lebih tua dan merasa aman untuk menjalani hidupnya dalam pernikahan.
Hal ini karena korban yang usianya jauh dibanding pelaku child grooming dapat memunculkan anggapan bahwa pelaku terlihat lebih “matang” secara ekonomi.
Kemudian apabila korban akhirnya menikah dengan pelaku child grooming, lanjutnya, hal ini menjadi menjadi permasalahan yang lebih kompleks.
"Terlebih apabila korban sudah memiliki anak dan menjalankan peran sebagai istri dan orang tua, terkadang korban juga tidak menyadari tindak eksploitasi yang dilakukan oleh pelaku, misal dengan korban melahirkan anak dalam jumlah banyak dan berdekatan jarak usianya serta harus mengurus anak-anaknya tersebut tanpa bantuan pihak lain," paparnya.
Maka dari itu, pihaknya menegaskan bahwa pernikahan yang diharapkan langgeng dan sehat tentu membutuhkan kesiapan finansial dan kesiapan mental.
"Kesiapan finansial, mengingat dalam membangun rumah tangga dibutuhkan kemampuan menafkahi keluarga baik secara lahir maupun batin. Dan tentunya kesiapan mental karena untuk membangun rumah tangga dibutuhkan kesiapan mental untuk membangun landasan emosi dan hubungan yang sehat, mengatasi konflik serta bagaimana mengelola keuangan rumah tangga. Kesiapan mental ini juga diperoleh dari usia yang matang," tuturnya. (*)