Apa itu Tren Sad Beige Mom: Estetika Minimalis atau Pengabaian Kebutuhan Anak?
Tren sad beige mom--shutterstock
MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Tren parenting ‘Sad Beige Mom’ belakangan sedang naik daun dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial.
Istilah ini kerap dikaitkan kepada orang tua yang menggunakan warna-warna lembut (netral) seperti warna beige, putih, dan krem, sebagai kiblat gaya estetika dalam pengasuhan anak.
Diklaim memiliki nuansa klasik dan bersih, tren ini menjamur ke berbagai kalangan masyarakat global. Tak terkecuali di Indonesia.
Meski dianggap ‘aestethic’, tren ini masih menimbulkan pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap perkembangan psikis anak.
Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. Iswinarti, M.Si. menegaskan pentingnya pemilihan dan variasi warna dalam mendukung stimulasi visual dan perkembangan kognitif anak, sejak bayi.
“Pada saat bayi beranjak usia 2-3 bulan, pergerakan benda dan suara-suara sangat berpengaruh terhadap stimulasi penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga) bayi," ujarnya.
Iswinarti juga menambahkan, dengan segala keterbatasan, penglihatan bayi cenderung menangkap benda berwarna cerah atau yang memiliki kontras tinggi. Seperti hitam, putih, merah, kuning, dan lain sebagainya.
Stimulasi Kognitif Anak
Pada tahap perkembangan ini, anak akan mulai mampu melakukan klasifikasi warna. Secara umum, orang tua akan memperkenalkan warna-warna dasar kepada anak, seperti merah, kuning, dan hijau.
Sehingga, pada hap selanjutnya anak mampu melakukan klasifikasi warna yang diciptakan dari kombinasi warna dasar tersebut. Atau biasa dikenal dengan istilah warna pelangi.
Dia menambahkan psikologi warna juga merepresentasikan emosional. Seperti warna cerah menggambarkan kecerian dan semangat, hitam berarti kesedihan yang mendalam, dan lainnya.
“Biasanya anak akan cenderung mengenal warna dasar dan turunan kombinasinya atau warna-warna pelangi dari hasil perkembangan stimulasi kognitif," tambahnya.
Tujuannya tidak lain, supaya ketika anak hanya diberi satu warna dan warnanya tidak menarik perhatian anak, maka kemungkinan stimulasi kognisi anak tergolong kurang.
Terlepas dari fenomena tren ini, Iswinarti memandang, perbedaan selera seseorang terhadap warna, style dan sebagainya itu merupakan suatu hal yang wajar.
Sumber: humas umm