JAKARTA, DISWAYMALANG.ID-- Kecelakaan maut di ruas Jalan Tol Pandaan – Malang yang diakibatkan oleh truk pakan ternak yang gagal dikendalikan, mendapat tanggapan dari pengamat.
Menurut Djoko Setijowarno, akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, kecelakaan ini bisa terjadi hingga tujuh kali sehari, meskipun jumlah armada truk lebih sedikit dibandingkan kendaraan roda empat.
"Pengawasan terhadap operasional angkutan barang belum maksimal," ungkapnya Kamis (26/12).
Menurutnya, angkutan logistik terjadi hampir setiap hari di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pengawasan dan tata kelola angkutan barang masih sangat lemah.
Kasus terbaru adalah kecelakaan yang melibatkan bus pariwisata Tirto Agung dan truk pengangkut pakan ternak di Jalan Tol Pandaan-Malang, Jawa Timur, pada Senin (23/12). Dalam insiden tersebut, empat orang tewas, pengemudi dan kenek truk, tour leader, dan seorang guru pendamping rombongan pelajar tersebut.
BACA JUGA:Korban Kecelakaan di Tol Pandaan-Malang Terkonfirmasi Empat Meninggal, 48 Luka-Luka
Hal ini, kata Djoko, memperlihatkan betapa buruknya pengelolaan angkutan logistik yang bisa berujung pada kecelakaan fatal. Kejadian ini juga mencerminkan rendahnya kompetensi pengemudi dan buruknya kondisi kendaraan angkutan barang.
Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam laporan tahunannya mencatat bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan ini adalah kegagalan sistem pengereman pada truk pengangkut barang, yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya perawatan yang memadai.
"Tidak ada regulasi wajib perawatan rem sebagai langkah preventif," tambah Djoko.
Truk besar memang memiliki peran penting dalam distribusi barang. Namun, ukuran besar kendaraan ini menjadi bumerang jika tidak dikendalikan dengan baik oleh pengemudi yang terampil dan kendaraan yang terawat dengan baik.
Ia menegaskan bahwa untuk menjalankan perawatan rutin kendaraan dan mendapatkan pengemudi yang kompeten, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Namun, biaya yang minim akibat liberalisasi angkutan barang sering mengorbankan keselamatan," terangnya.
Liberalisasi angkutan barang yang selama ini terjadi, menurutnya, telah mengarah pada penurunan standar keselamatan demi efisiensi biaya. Pasal 184 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa tarif angkutan barang seharusnya berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Namun, di Indonesia, liberalisasi tarif seringkali tidak diimbangi dengan pengawasan terhadap standar keselamatan.
BACA JUGA:Sopir Truk Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Kecelakaan di Tol Pandaan-Malang
Pemerintah Masih Pakai Truk ODOL
Selain masalah angkutan barang yang kelebihan muatan, yang di dunia angkutan dikenal sebagai Over Dimention Over Loading (ODOL), Djoko juga mengkritik lemahnya pengawasan terhadap truk-truk yang digunakan dalam proyek-proyek pemerintah. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan bahwa banyak proyek pemerintah yang masih menggunakan truk melebihi kapasitas, yang berisiko menambah kecelakaan serta merusak jalan.
"Ironisnya, pemerintah sendiri masih menggunakan truk ODOL dalam proyek-proyek negara," katanya.
Dalam tata kelola angkutan logistik di Indonesia, ada lebih dari 12 kementerian dan lembaga yang terlibat, termasuk Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kepolisian, dan lainnya.
Meskipun banyak instansi terlibat, pengawasan terhadap operasional angkutan barang belum maksimal. Djoko menekankan pentingnya ketegasan presiden dalam menyelesaikan masalah ini.
Di sisi internal Kementerian Perhubungan, koordinasi antara Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian serta badan lainnya dinilai masih kurang. "Penyelesaian masalah ODOL seharusnya melibatkan sinergi antar berbagai pihak dalam Kemenhub, bukan hanya mengandalkan satu instansi," ujarnya.
Ia juga menyarankan agar angkutan barang yang jaraknya lebih dari 500 km sebaiknya dialihkan ke moda transportasi lain seperti kereta api atau kapal.
Pemerintah, lanjut Djoko, harus segera mengambil langkah nyata untuk menanggulangi masalah ini dengan menyusun regulasi yang jelas untuk upah pengemudi serta mengatur sistem manajemen keselamatan yang lebih profesional.
"Kecelakaan truk yang terus terjadi bukanlah nasib, tetapi akibat dari pengabaian dalam perencanaan dan pengawasan," tandasnya. (*)