LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID-- Toxic relationship atau hubungan tidak sehat kerap menjadi sumber berbagai masalah emosional, psikologis, hingga fisik. Hubungan semacam ini biasanya ditandai dengan manipulasi, dominasi, ancaman, dan kekerasan yang merusak kesejahteraan individu. Sebaliknya, hubungan sehat menekankan rasa aman, kesetaraan, saling menghormati, serta komunikasi yang terbuka.
Disway Malang mewawancarai dua orang perempuan muda yang pernah mengalami hubungan tak sehat semacam itu.
Mawar (nama samaran), perempuan asal Surabaya, bercerita tentang hubungannya yang berlangsung selama dua tahun dan berakhir dengan penderitaan mental. Selama enam bulan terakhir, tepatnya pada tahun 2021, ia terus merasa terkekang, diatur, bahkan menerima perlakuan kasar secara verbal dari mantan kekasihnya.
“Semua bermula dari masalah kecil seperti berbeda pendapat. Kemudian pada akhirnya, jika ada masalah tidak pernah diskusi lagi dan berujung berantem,” ujar Mawar saat diwawancarai Disway Malang, Minggu (22/12).
Sifat egois dan apatis dari mantan kekasihnya ini semakin lama membuatnya jenuh. Tanpa ia sadari, hal ini sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mentalnya.
“Awalnya cuma menangis dan sesak. Karena nggak punya pelampiasan, jadi makin lama juga ngaruh ke lainnya seperti malas makan, pusing, dan asam lambung,” imbuhnya.
Mawar juga menambahkan bahwa sesekali ia juga mulai mengkonsumsi nikotin seperti pods dan rokok. Sadar bahwa semua tindakannya salah, Mawar mulai mencari pertolongan agar bisa lepas dari hubungan yang tak sehat tersebut. Setelah mencari dukungan dari orang tua dan teman, Mawar akhirnya berhasil keluar dari hubungan tersebut.
Berbeda dengan Mawar, Tania (juga nama samaran) yang berasal dari Ambon justru masih terjebak dalam lingkaran hubungan toxic meskipun telah menyadari dampaknya. Hubungannya yang telah berjalan dua tahun ini akan berjalan ke jenjang yang lebih serius pada tahun 2025.
Sebelum berpacaran, Tania dan kekasihnya telah saling mengenal satu sama lain sekitar 6-7 tahun. Kedekatannya ini membuat Tania susah melepaskan sang kekasih, tak peduli apa pun yang kekasihnya lakukan.
“Orang tua aku sama dia sudah kenal dekat. Makanya aku takut buat keputusan,” ujarnya.
Selain sering kali merasa dikekang, diintimidasi verbal, diselingkuhi, hingga pernah mendapatkan kekerasan fisik, namun ia merasa sulit untuk keluar karena kedekatan pasangan dengan keluarganya.
Salah satu alasan mengapa seseorang terus bertahan dalam hubungan yang toxic adalah kemungkinan adanya cognitive dissonance atau disonansi kognitif. Dan sikap Tania termasuk mencerminkan hal tersebut.
Memahami Disonansi Kognitif dalam Hubungan
Mengutip dari Psykay.co.id, disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan psikologis yang terjadi ketika seseorang memiliki dua atau lebih kepercayaan, nilai, atau sikap yang bertentangan.
Dalam konteks hubungan, hal ini sering terjadi ketika korban mencoba membenarkan perilaku pasangan atau mengabaikan tanda-tanda negatif. Ketidaknyamanan ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi, sehingga membuat korban sulit mengambil keputusan yang tepat, termasuk untuk meninggalkan hubungan toxic.
Kesadaran akan pentingnya hubungan sehat menjadi fokus utama dalam seminar bertajuk “Toxic Relationship: Abuse is Not Love” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) melalui Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP). Acara yang berlangsung di Gedung Widyaloka UB pada Selasa (03/12) ini dihadiri oleh 160 peserta, termasuk mahasiswa, dosen, dan tamu undangan lain.
Ketua Divisi Edukasi dan Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan (KSP) ULTKSP FISIP UB, Fitri Hariana Oktaviani, PhD., menyatakan bahwa seminar ini dirancang untuk memberikan wawasan mendalam tentang kekerasan dalam hubungan serta cara menghadapinya.
Seminar ini menghadirkan dua pembicara ahli yang membahas tema dari sudut pandang berbeda namun saling melengkapi. Yang pertama, dari Jakarta Feminist, Naila Rizqi Zakiah membuka sesi dengan membahas dasar-dasar kekerasan, termasuk jenis-jenis kekerasan berbasis gender dan seksualitas.
Ia memperkenalkan konsep C.R.I.S.P. (Considered, Reversible, Informed, Specific, Participatory) sebagai panduan memahami persetujuan (consent) dalam setiap interaksi. Pelecehan dan kekerasan tidak hanya berlaku di dunia nyata, Naila juga mengingatkan peserta tentang pentingnya melindungi “tubuh digital” dari ancaman seperti penyebaran konten intim tanpa izin atau peretasan.
Selanjutnya psikolog dari Yayasan Pulih, Husna Faizah, M.Psi., melanjutkan dengan materi “Abuse is Not Love”, yang mengajak peserta mengenali ciri-ciri hubungan sehat. Ia menekankan bahwa hubungan ideal harus didasari rasa aman, kesetaraan, dan saling menghormati tanpa dominasi satu pihak. Husna juga memaparkan sembilan tanda kekerasan dalam hubungan, mulai dari manipulasi, mengatur, mengancam, intimidasi, dan masih banyak lagi.
Dengan memahami konsep-konsep seperti disonansi kognitif dan pentingnya dukungan sosial, diharapkan individu dapat lebih mudah keluar dari hubungan toxic dan membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Perlu Dukungan Teman dan Keluarga
Mengatasi hubungan toxic memerlukan kesadaran diri dan dukungan sosial. Seorang psikolog dari Center for Public Mental Health (CPMH) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., juga menjelaskan bahwa penting bagi korban untuk mencari dukungan dari keluarga, teman, atau profesional seperti psikolog.
Ia menjelaskan bahwa langkah pertama adalah mengenali dampak negatif hubungan tersebut dan memikirkan langkah konkret untuk keluar, termasuk memutus ikatan emosional dengan pelaku. Jika perlu, rehabilitasi mental melalui konseling juga menjadi bagian penting untuk pemulihan.
Menuju Kampus yang Aman dan Inklusif
Dengan melibatkan kolaborasi bersama Institut Français d’Indonésie (IFI) – Embassy of France Jakarta, Yayasan Pulih, dan Jakarta Feminist, seminar ini menjadi tonggak penting dalam upaya ULTKSP FISIP UB menciptakan lingkungan kampus yang aman dan inklusif.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr. Bambang Dwi Prasetyo S.Sos., M.Si., turut memberikan apresiasi atas inisiatif ini. Melalui edukasi tentang hubungan sehat, diharapkan sivitas akademika mampu membangun kesadaran akan pentingnya menghentikan segala bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, maupun digital.
“Saya juga berharap kegiatan semacam ini dapat terus dilanjutkan untuk memberikan dampak positif yang lebih luas,” ujarnya. (*)