Satu Abad Stadion Gajayana di Ujung Pena 30 Penulis: Simbol Budaya, Bikin Malang Berkarakter Kuat hingga Kini

Jumat 19-12-2025,20:46 WIB
Reporter : Martinus Ikrar Raditya
Editor : Mohammad Khakim

BLIMBING, DISWAYMALANG.ID--Grand launching dan bedah buku Spektrum Kota Malang 2: Satu Abad Stadion Gajayana digelar pada Jumat, 19 Desember 2025, di Grand Mercure Malang Mirama. Acara ini menjadi momentum penting bagi Kota Malang dalam meneguhkan ingatan kolektif atas Stadion Gajayana sebagai salah satu ikon sejarah kota yang telah berusia satu abad. Peluncuran buku tersebut dihadiri wakil wali Kota Malang, para penulis, arsitek, sejarawan, akademisi, komunitas literasi, serta perwakilan media.

Buku ini merupakan hasil kerja kolaboratif lintasdisiplin yang melibatkan 30 penulis dari beragam latar belakang. Mereka merekam perjalanan Stadion Gajayana tidak hanya sebagai arena olahraga, tetapi juga sebagai ruang sosial, simbol persatuan, serta bagian dari sejarah panjang perkembangan Kota Malang.


Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin dalam sambutannya menekankan pentingnya fondasi kreativitas Kota Malang pada acara Grand Launching dan Bedah Buku -Martinus Ikrar Raditya-Disway Malang

Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Malang Raya Gedeon Soerja Adi menyampaikan, buku ini lahir dari kesadaran pentingnya dokumentasi sejarah yang berbasis riset dan data.

“Buku ini bukan sebuah kompetisi, melainkan buku yang disusun berdasarkan data, riset, dan dokumentasi sejarah. Karena itu sangat layak untuk dikoleksi, diapresiasi, dan menjadi kebanggaan warga Kota Malang,” ujarnya.

Ia menambahkan, Stadion Gajayana telah melewati berbagai fase sejarah yang ditulis secara utuh oleh para kontributor. “Ditulis oleh 30 penulis dengan berbagai sudut pandang, mulai sisi terbaik hingga sisi yang jarang dibicarakan. Semua fase perjalanan Stadion Gajayana selama satu abad ada di dalam buku ini,” kata Gedeon.

Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin dalam sambutannya menegaskan, sejarah dan literasi merupakan fondasi penting dalam membangun identitas Kota Malang sebagai kota kreatif.

“Kota Malang punya kultur yang kuat, talenta yang produktif, dan kemampuan memanfaatkan teknologi. Tiga hal ini adalah fondasi kreativitas Kota Malang, dan semuanya lahir dari sejarah panjang kota ini,” tuturnya.


Salah satu arsitek kota Malang yang juga terlibat dalam pembuatan buku ini Haris Wibisono menjelaskan pendekatan visual 3D pada cover buku tersebut-Jumat, 19 Desember 2025-Martinus Ikrar Raditya-Disway Malang

Ia menekankan, Stadion Gajayana memiliki posisi strategis dalam sejarah olahraga dan persatuan warga. “Stadion ini sejak awal dibangun bukan hanya sebagai tempat olahraga, tetapi juga sebagai pemersatu. Sepak bola, atletik, renang, semuanya menjadi ruang kebersamaan warga Malang pada zamannya,” ujarnya.

Menurutnya, keberadaan buku ini menjadi bukti konkret pentingnya literasi sejarah. “Sejarah harus ditulis dan diwariskan. Buku adalah hadiah terbaik karena menjadi warisan peradaban yang bisa dinikmati lintasgenerasi,” tegasnya.

Sejarawan Lulut Edi Santoso dalam pemaparannya menyoroti peran Stadion Gajayana dalam sejarah olahraga modern. “Pertandingan tinju modern pertama yang terorganisasi dengan baik pernah berlangsung di Malang. Ini menunjukkan bahwa Malang sejak awal menjadi bagian dari sejarah olahraga modern,” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan, kawasan stadion tidak lepas dari dinamika perencanaan kota. “Awalnya kawasan ini sempat direncanakan untuk fungsi lain, termasuk pengembangan lapangan terbang. Namun akhirnya dipilih sebagai kawasan olahraga, yang menunjukkan visi kota maju pada masa itu,” jelas Lulut.

Dari sisi arsitektur, Haris Wibisono menjelaskan, buku ini dirancang dengan pendekatan visual tiga dimensi agar mampu menampilkan struktur Kota Malang secara utuh. “Kami ingin buku ini monumental. Karena itu, kami menggunakan pendekatan visual tiga dimensi agar pembaca bisa memahami stadion dalam konteks peta kota, lanskap, dan budaya,” katanya.

Ia menambahkan, Stadion Gajayana tidak bisa dilepaskan dari perencanaan kota modern awal abad ke-20. “Orientasi bangunan, boulevard seperti Jalan Ijen, hingga hubungan kota dengan bentang alam semuanya dirancang dengan pertimbangan arsitektur dan budaya. Itu yang membuat Malang punya karakter kuat sampai hari ini,” ujarnya.

Salah satu penulis, Wibie Maharddika, memaknai buku ini lebih dari sekadar catatan sejarah. “Literasi adalah kekuatan untuk menjaga jiwa kota. Stadion Gajayana bukan hanya bangunan, tetapi simpul sejarah, spiritualitas, dan kebudayaan Kota Malang,” tulisnya.

Dalam wawancara terpisah, Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin kembali menegaskan harapan besar terhadap buku ini. “Buku ini menjadi bukti sejarah yang bisa dibaca, dipahami, dan dijiwai oleh generasi selanjutnya. Stadion Gajayana adalah simbol persatuan warga Malang yang harus terus dijaga,” ujarnya.

Peluncuran Spektrum Kota Malang 2: Satu Abad Stadion Gajayana menegaskan bahwa sejarah kota tidak boleh berhenti sebagai ingatan lisan. Ia harus ditulis, dirawat, dan diwariskan. Di tengah arus modernisasi, buku ini hadir sebagai pengingat bahwa identitas Kota Malang dibangun dari sejarah, arsitektur, budaya, dan semangat satu jiwa yang terus hidup.

Tags :
Kategori :

Terkait