Fenomena Hilangnya Kentongan Bambu dalam Patrol Sahur
Seni Rontek yang menggunakan kentongan bambu-Istimewa-Instagram/ronthekpacitan
MALANG, DISWAYMALAND.ID-- Patrol sahur merupakan tradisi khas Ramadan di Indonesia yang bertujuan membangunkan warga untuk bersantap sahur. Salah satu unsur tradisional dalam Patrol sahur adalah penggunaan kentongan bambu, alat musik sederhana yang menghasilkan irama khas. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pergeseran signifikan terjadi dengan hadirnya alat musik modern seperti drum, perkusi, hingga sound system keliling yang memainkan musik kekinian.
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran terkait hilangnya salah satu warisan budaya dalam tradisi patrol sahur. Budayawan Kota Malang, Isa Wahyudi atau lebih akrab disapa Ki Demang, menilai bahwa modernisasi berkontribusi pada pergeseran ini, namun upaya pelestarian tetap bisa dilakukan agar kentongan bambu tetap menjadi bagian dari patrol sahur di masa depan.
Faktor-Faktor Pergeseran Penggunaan Kentongan Bambu
Pendekatan fenomenologis membantu dalam memahami bagaimana masyarakat mengalami dan merespons perubahan ini. Menurut Ki Demang, ada beberapa faktor utama penyebab pergeseran ini meliputi:
1. Modernisasi dan Teknologi
Kemajuan teknologi memungkinkan inovasi dalam alat musik patrol. Kentongan bambu yang memiliki keterbatasan volume mulai tergeser oleh alat musik yang lebih dinamis seperti drum dan sound system. Suara yang lebih keras dan bervariasi kini menjadi pilihan utama masyarakat.
2. Perubahan Selera dan Gaya Hidup
Generasi muda lebih menyukai aransemen musik patrol yang modern, seperti dangdut atau remix religi yang dimainkan melalui sound system. Media sosial juga berperan besar dalam membentuk tren ini, di mana patrol sahur kini bukan hanya alat membangunkan sahur, tetapi juga ajang hiburan.
3. Kompetisi dan Komersialisasi
Banyak kelompok patrol berlomba untuk tampil lebih menarik dengan menambahkan elemen baru dalam pertunjukan mereka. Sound system meningkatkan daya tarik dan aspek kompetitif patrol sahur, sehingga alat musik tradisional mulai ditinggalkan.
4. Efisiensi dan Praktikalitas
Memainkan kentongan bambu membutuhkan keterampilan dan koordinasi, sementara penggunaan sound system lebih praktis karena dapat menghasilkan suara lebih besar dengan usaha lebih sedikit. Hal ini membuat banyak kelompok patrol beralih ke metode yang lebih efisien.
Upaya Pelestarian Kentongan Bambu dalam Patrol Sahur
Meskipun patrol sahur mengalami modernisasi, masih ada peluang untuk mempertahankan kentongan bambu sebagai bagian dari warisan budaya. Menurut Ki Demang, beberapa langkah pelestarian yang bisa dilakukan meliputi:
1. Revitalisasi dan Inovasi Kentongan Bambu
- Mengembangkan desain kentongan yang lebih menarik dengan variasi suara yang lebih kaya.
- Memadukan kentongan dengan alat musik modern tanpa menghilangkan esensi ritmisnya.
2. Festival dan Lomba Musik Patrol Tradisional
- Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan festival patrol dengan prioritas penggunaan alat musik tradisional.
- Lomba patrol dengan kategori khusus alat musik tradisional bisa menarik perhatian masyarakat untuk kembali menggunakannya.
3. Edukasi dan Sosialisasi
- Memasukkan kesenian patrol dengan kentongan bambu dalam kurikulum muatan lokal di sekolah.
- Mengadakan pelatihan atau workshop bagi generasi muda agar lebih memahami dan memainkan alat musik ini.
4. Dukungan Pemerintah dan Komunitas Budaya
- Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau penghargaan kepada kelompok patrol yang tetap mempertahankan kentongan bambu.
- Komunitas budaya dan seniman lokal bisa berperan aktif dalam mengenalkan kembali patrol sahur dengan alat musik tradisional.
Kentongan Bambu sebagai Identitas Budaya
Menurut Ki Demang, hilangnya kentongan bambu dalam patrol sahur bukan sekadar pergantian alat musik, tetapi juga mencerminkan perubahan sosial dan budaya yang lebih luas. Modernisasi, perubahan selera masyarakat, serta faktor praktikalitas telah menyebabkan patrol sahur lebih banyak menggunakan alat musik modern. Namun, dengan langkah-langkah pelestarian yang tepat, kentongan bambu masih dapat tetap hidup sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia.
Menghidupkan kembali kentongan bambu bukan sekadar melestarikan budaya, tetapi juga membangun rasa kebersamaan dalam masyarakat. Selain itu, upaya ini dapat menjadi sarana edukatif bagi generasi muda untuk mengenal jenis-jenis bambu dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, patrol sahur dengan kentongan bambu dapat tetap eksis sebagai tradisi yang tidak hanya berfungsi membangunkan sahur, tetapi juga memperkuat nilai sosial dan budaya dalam masyarakat Indonesia.
*Artikel ini.adalah tulisan Isa Wahyudi (Ki Demang), penggagas Kampung Budaya Polowijen, Malang, kini sedang menempuh studi doktoral Psikologi Budaya di Universitas Muhammadiyah Malang.
Sumber:
