Melemahnya Nilai Rupiah terhadap Dolar AS Dinilai Lebih karena Faktor Eksternal, Belum Separah Krisis 1998

Ilustrasi dollar USD meningkat dan mata uang rupiah melemah--pinterest
MALANG, DISWAYMALANG.ID-- Nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data pada 7 April, nilai tukar sempat tercatat di angka diatas Rp17.000 per dolar. Meski, kemudian turun menjadi Rp16.797 pada 12 April.
Melemahnya rupiah ini disebut para ahli lebih dipicu oleh faktor eksternal. Terutama ketegangan global yang dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Abdul Ghofar, SE., M.Si., DBA., Ak., menyebut bahwa faktor utama yang menyebabkan depresiasi rupiah adalah ketidakpastian global akibat perang dagang.
Abdul Ghofar, SE., M.Si., DBA., Ak. Dekan FEB UB memberi tanggapan perihal naiknya mata uang dollar USD--
“Perang dagang ini membuat banyak investor khawatir akan potensi krisis ekonomi di negara-negara maju. Implikasinya, terjadi arus kas keluar dari negara berkembang ke negara maju,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam waktu singkat, pasar modal Indonesia sempat terguncang. “Asing keluar dari pasar modal Indonesia dalam satu hari dua kali, nilainya hampir Rp30 triliun,” ujar Abdul Ghofar.
Hal ini diperparah dengan meningkatnya tarif perdagangan, terutama terhadap barang ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, yang mencapai hingga 35 persen.
Ketidakpastian ini, lanjut Ghofar, juga memengaruhi neraca perdagangan. “Perdagangan non-migas Indonesia sekitar USD51 miliar, dengan surplus dari Amerika sekitar USD17 miliar. Jika tarif dinaikkan, surplus akan berkurang, pasokan dolar di dalam negeri menyempit, otomatis nilai tukar akan naik,” tegasnya.
Selain faktor perang dagang dan perdagangan, ada pula beban utang luar negeri yang harus dibayarkan.
“Pembayaran cicilan bunga luar negeri kita cukup besar, sekitar Rp88 triliun tahun ini. Itu semua membutuhkan suplai dolar yang tidak sedikit,” ungkapnya.
Hal itu ditambah dengan fakta, eksportir pun menahan dana mereka di luar negeri karena kekhawatiran akan krisis. Sehingga memperburuk tekanan terhadap rupiah.
Beda dengan Krisis 1998
Di sisi lain, Wakil Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang Prof. Dr. Imam Mukhlis, S.E., M.Si., memberikan perspektif yang lebih makro.
Ia menjelaskan bahwa secara fundamental, ekonomi Indonesia masih cukup stabil.
“Pertumbuhan ekonomi masih berada di kisaran 5 persen, inflasi pun masih terkendali antara 1 persen hingga 2 persen. Ini menunjukkan adanya stabilitas makro ekonomi,” jelasnya.
Sumber: