Atasi Kekerasan pada Anak, Ciptakan Ruang Aman Komunikasi di Keluarga dan Sekolah

Atasi Kekerasan pada Anak, Ciptakan Ruang Aman Komunikasi di Keluarga dan Sekolah

-Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi menegaskan pentingnya komunikasi dalam keluarga. -Disway.id

LOWOKWARU, DISWAYMALANG.ID— Komunikasi dalam keluarga adalah kunci penting dalam mengatasi persoalan kekerasan pada anak dan kaum perempuan.

"Jadi komunikasi dalam keluarga ini sangat penting bagaimana orang tua juga punya waktu lebih banyak dengan pendekatan-pendekatan sesuai dengan zamannya ya," tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi kepada awak media.

Menteri PPPA menyatakan hal itu saat merilis laporan hasil penelitian kualitatif Pengalaman Hidup Anak dan Remaja, peluncuran Hasil Studi Kualitatif Pengalaman Hidup Perempuan Nasional Tahun 2024, dan Peluncuran Hasil Program "First Click" perlindungan anak di lingkungan digital, di Tangerang, Senin (16/12).

Kemen PPPA telah menyelenggarakan penelitian kualitatif mengenai pengalaman hidup anak dan remaja usia 13-17 tahun di 5 kabupaten/kota. Yaitu, Kabupaten Bandung, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Banjar, Kabupaten Maros, dan Kota Kupang.

"Jadi penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak dan perempuan masih cukup tinggi," ungkapnya.

Ciptakan Ruang Aman

Komunikasi dalam keluarga sebagai jalan keluar mengatasi kekerasan pada anak dan kaum perempuan juga diaminkan oleh Fairuza Arindra, S.I.Kom, M.I.Kom, akademisi di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.

“Yang harus dilakukan adalah memperbaiki pola hubungan dalam keluarga. Terutama untuk menciptakan ruang aman komunikasi bagi anak,” ujar Arin, panggilan Fairuza.


Fairuza Arindra, S.I.Kom, M.I.Kom.--Yulfarida Arini - Disway Malang

Ruang aman tersebut adalah ruang psikologis yang memungkinkan anak merasa aman dan nyaman menceritakan apa pun pemikiran, perasaan dan pengalaman yang terjadi pada dirinya. Tanpa adanya ruang aman, anak yang menjadi korban akan menyimpan sendiri masalahnya sehingga tidak pernah terungkap.

“Dalam kasus kekerasan, kecenderungannya si korban tidak berani mengungkapkan apa yang terjadi,” paparnya. Kalaupun si anak berani bercerita, kadang respon orang dewasa yang dilapori, baik itu orang tua maupun guru, justru meremehkan.

“Apalagi kalau pelakunya orang dekat. Dan ini yang sering terjadi. Keluarga merasa aibnya terbuka bila kasus kekerasan tersebut sampai terungkap,” jelas Arin, yang mendalami komunikasi keluarga.

Akibatnya, anak malah merasa salah kalau mengadu. Bahkan, pada akhirnya anak menjadi yakin kalau kekerasan yang dialaminya memang harus ditutup rapat-rapat.

Ruang aman komunikasi itu bisa dibangun dengan kesadaran penuh dari orang tua, sebagai pemegang hirarki tertinggi di keluarga. “Bukan hanya anak yang diharuskan menghormati orang tua. Orang tua juga harus sadar bahwa anak-anak juga mempunyai hak untuk didengar pendapatnya, dilibatkan dalam pengambilan Keputusan. Dengan begitu anak-anak akan merasa aman dan nyaman bila ingin bercerita apa pun kepada orang tuanya,” tegasnya.

Hal ini senada dengan penegasan Menteri PPPA Arifa, tentang perlunya orang dewasa dewasa memiliki cara pendekatan yang tepat kepada anak, pendekatan yang sesuai zaman.  

"Anak sekarang kan tidak bisa dikerasi. Keras sedikit sudah berbeda. Berbeda dengan waktu kita masih kecil. Jadi sebetulnya intinya adalah komunikasi baik di keluarga maupun di sekolah," jelasnya.

Hukuman Terlalu Ringan

Di sisi lain, masih tingginya kekerasan pada anak juga harus diimbangi penegakan hukum yang tegas. Sebab, dalam banyak kasus, para pelaku yang sudah terbukti di pengadilan pun hanya mendapatkan hukuman yang dinilai terlalu ringan.

Contohnya kasus penganiayaan bayi di sebuah daycare di Kepanjen, awal tahun 2024. Barang buktinya adalah rekaman CCTV. Dua pelakukanya masing-masing hanya dihukum 8 bulan dan 1 tahun. Kasus lainnya dalam tahun ini juga, yang menimpa anak selebgram Malang Aghnia Punjabi, juga menghasilkan hukuman 3,5 tahun penjara saja bagi pelakunya.

“Kan itu tidak menimbulkan efek jera,” ujar Anisa Rizki Sabrina, S.I.P., M.A. yang juga akademisi di Prodi Ilkom FIS UM.


Anisa Rizki Sabrina, S.I.P., M.A.--Yulfarida Arini - Disway Malang

Menurutnya, kasus kekerasan pada anak tidak hanya bisa ditangani dari satu aspek. Di satu sisi, harus ada penguatan komunikasi di keluarga dan sekolah. “Tetapi peran pemerintah juga sangat penting. Ya di penegakan hukum ini,” tegasnya.

Kiky, panggilan akrab Anisa, juga menyoroti kekerasan di sekolah, yang menurutnya adalah fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terungkap, padahal kasusnya sangat banyak.

“Data dari Polres Malang, sejak Januari hingga Agustus 2024, jadi hanya 8 bulan saja, terlapor 16 kasus kekerasan di sekolah dan pondok pesantren,” ungkapnya. Kasus di institusi pendidikan biasanya sulit terungkap karena ada upaya-upaya penyelesaian secara kekeluargaan.

Pihak institusi pendidikan biasanya juga cenderung menutup-nutupi kasus karena tidak ingin nama baik sekolahnya tercoreng. “Bila kasusnya menyangkut antar-siswa, biasanya pihak sekolah ingin dianggap netral. Ini kan tidak adil untuk korban,” ujarnya.

Seperti di keluarga, di sekolah juga harus diciptakan komunikasi yang memberi rasa aman dan nyaman bagi anak. “Supaya kalau ada apa-apa di sekolah, si anak bisa dengan percaya bercerita kepada guru dan orang tua,” kata Kiky.

Ini juga senada dengan pesan Menteri PPPA kepada pihak sekolah dan orang tua murid untuk selalu komunikasi dengan para siswa dan anak.  Sebab, belakangan ini kasus bullying kerap terjadi di lingkungan sekolah. Namun, para anak sering memendamnya hingga lepas dari pengawasan pihak sekolah maupun orang tua.

"Sama-sama menyadari bahwa tanggung jawab anak itu bukan hanya di sekolah saja, tetapi orang tua, lingkungan, masyarakat, dan sekolah sama-sama punya tanggung jawab untuk anak-anak," tegas Arifa. (*)

Sumber: