Ketika Pecinta Alam Lupa kepada Alam —Refleksi dari Seorang Mantan MAPALA
--
MAPALA masa kini bisa menjadi agen perubahan besar jika mau kembali ke nilai dasarnya.
Gunakan kamera untuk mengedukasi publik tentang pentingnya hutan, bukan sekadar selfie di puncak. Gunakan followers untuk menggerakkan aksi bersih sungai, bukan pamer tenda baru.
Karena sejatinya, MAPALA lahir bukan dari kemewahan, tapi dari keikhlasan. Dari tangan-tangan kotor tanah, bukan dari hasil editan filter digital.
Saya sering merenung: apa jadinya jika gunung-gunung kita suatu hari nanti hanya tinggal cerita? Jika hutan-hutan yang dulu kami jelajahi kini menjadi resort dan kafe?
Apakah generasi setelah kita masih bisa mengenal aroma hutan yang asli, bukan aroma kopi di “café outdoor”?
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengingatkan.
Karena saya dulu juga pernah muda pernah ingin diakui, pernah juga menikmati spot foto bagus. Tapi setelah beberapa kali melihat sungai yang mati dan lereng gunung yang gundul, saya sadar: alam tidak butuh kita terkenal. Alam hanya butuh kita peduli.
Bagi adik-adik MAPALA hari ini, pesan saya sederhana:
Naiklah gunung sebanyak mungkin, tapi turunlah dengan hati yang lebih rendah. Foto boleh, konten silakan tapi jangan lupa, ada tanggung jawab yang ikut terunggah bersama setiap gambar.
Kita tidak bisa memutar waktu, tapi kita bisa menjaga nilai.
Karena sebagaimana pesan yang dulu sering kami dengar dari senior:
“Cinta alam bukan gaya hidup, tapi cara hidup.”
Dan selama pesan itu masih dipegang, MAPALA dalam bentuk apa pun akan tetap menjadi cahaya kecil yang menjaga bumi tetap hijau.
*Penulis adalah pegiat pecinta alam yang juga seorang konten kreator
Sumber:
